Tuesday 13 September 2016

Detektif Jen : Tantangan Maut

CERPEN DETEKTIF JEN : Pada tanggal 31 Desember 2013, Jenny menerima sebuah surat undangan yang di antar oleh seorang bocah kepadanya saat kami sedang sarapan di sebuah kedai di pinggir jalan. Saat Jenny membaca dan merasa ada yang janggal dari surat itu, ia mencari bocah pengantar surat tadi, namun bocah itu sudah menghilang entah kemana.
"Ada apa?" kataku.
Jenny menunjukan surat itu. Isinya singkat saja.
Dapatkah kau mencegahku untuk membunuh di pesta tahun baru nanti malam?
"Mungkin itu hanya kerjaan orang iseng," kataku.
"Bisa jadi. Siapa yang mau mengundang polisi untuk rencana sebuah pembunuhan?"
"Ada-ada saja orang-orang ini," kataku.
Jenny berdiri dan berjalan menuju tempat sampah. Ia melumat kertas undangan iseng itu, lalu melemparkannya ke tempat sampah. Jenny berjalan dengan langkah pasti seraya mengusap kedua telapak tangannya.
"Nah, aku akan menghabiskan sarapanku dulu, baru berangkat ke kantor," ujarnya sambil duduk siap menyantap.
"Apa perlu aku antar?"
"Ah, tidak perlu. Aku tahu kau juga sibuk akhir-akhir ini. Jadi aku jalan kaki saja. Banyak hal yang bisa aku nikmati sambil berjalan menuju kantor. Kau yakin tidak mau keluar bersamaku nanti malam?"
"Entahlah," kataku. "Bila sempat aku akan menghubungimu. Akhir-akhir ini bos-ku sering mengeluh karena berita yang kumuat hanya berita-berita biasa. Jadi aku hari ini agak sibuk, paling tidak sampai nanti malam."
"Terserah kau saja kalau begitu. Yang jelas nanti malam aku free. Aku tidak ada tugas di malam tahun baru, kecuali untuk situasi darurat."
"Baiklah hubungi aku nanti," kataku sambil bangkit mencium keningnya.
***
Dari pagi hingga sore aku sibuk di kantorku menulis berita. Aku hanya istirahat beberapa menit untuk minum kopi dan makan siang. Rasa capek mulai menggelandoti bahu dan punggungku. Mataku juga mulai lelah. Sesekali aku menarik lenganku ke atas untuk meregangkan pinggangku. Lalu kembali pada kesibukanku.
Pada jam 15.00, Jenny mengirim sebuah foto padaku melalui WA. Sebuah gambar bangunan mirip hotel. Tidak ada plakat atau tulisan apa pun di gambar itu. Sudut mengambil fotonya juga kurang bagus, sehingga aku kesulitan menebak itu bangunan apa.
Berikutnya sebuah text dari Jenny.
Orang iseng itu mulai lagi. Dia mengirim gambar itu menggunakan nomor baru. Ketika aku hubungi nomor itu sudah tidak aktif. Ini pesan darinya : 'kau terlalu lamban'.
Aku membalasnya.
Apa kau bisa mencari tahu siapa dia?
Jenny membalas.
Tidak, itu tidak perlu karena bisa saja, seperti katamu, itu hanya kerjaan orang iseng.
Aku kembali sibuk dengan pekerjaanku hingga jam 19.30. Ketika itu, HP-ku berbunyi kembali.
Itu dari Jenny lagi.
Ancaman itu serius. Aku akan melapor ke kantor.
Aku membalas.
Apa maksudmu?
Tiba-tiba Jenny mengirim sebuah gambar. Gambar itu adalah sebuah gambar wanita telanjang bulat terkapar di atas lantai. Salah satu tangannya terangkat kaku. Rambutnya panjang dan menutupi wajahnya. Tidak ada darah tapi dari warna kulitnya aku yakin wanita itu sudah meninggal.
Mendadak jantungku berdebar kencang. Aku bangkit dari dudukku dan berlari menuju mobil.
Sepanjang perjalanan aku tidak bisa tenang. Aku berulang kali menghubungi Jenny namun tidak ada jawaban. Aku terus melajukan mobilku dengan kencang sampai akhirnya tiba di sebuah persimpangan menuju alun-alun kota.
Jalanan macet karena ditutup.
Aku menepikan mobilku dan berlari keluar menerobos kerumunan orang yang berjalan kaki. Mereka seperti kelompok semut yang bergerak begitu lambat merayapi sebuah batang cokelat. Suara gemuruh, musik serta aroma masakan yang dijual di pinggir trotoar tidak aku hiraukan.
Aku terus berlari sambil sesekali mencari celah diantara orang yang berlalu lalang.
Aku tiba di kantor polisi.
"Di mana Jenny?" tanyaku sedikit terengah-engah kepada seorang polisi yang sedang duduk di teras.
"Dia tidak di sini," jawab polisi muda itu.
"Sial!" umpatku.
Aku kembali berlari sambil mencoba menghubungi Jenny. "Tiit!" Diangkat.
"Jen, dimana kau?"
"Di Laguna Hotel."
Dengan cepat aku memutar mobilku dan menuju arah yang berlawanan. Aku mengikuti arah yang ditunjukkan Jenny, hingga tiba di jalanan tepi pantai. Jalanan itu juga ditutup. Aku melihat ada banyak mobil diparkir di kanan-kiri sepanjang jalan. Mobil polisi dan ambulan pun ada disana. Aku melihat beberapa anggota polisi berjaga di sana.
Aku meminggirkan mobilku dan berlari menerobos lautan manusia. Agak jauh aku berjalan berdesakan hingga mataku tertuju pada satu bagunan di sisi jalan. Jantungku seperti berhenti berdetak. Bagunan itu tidak lain adalah bagunan dalam foto yang dikirim oleh Jenny kepadaku. Jadi benar, itu bukan sekedar ancaman. Jenny pasti dalam bahaya.
Aku berlari dan mendorong pintu kaca kuat-kuat. Beberapa orang menatap ke arahku. Namun aku tidak peduli. Aku berlari menuju lift dan langsung menekan tombolnya berkali-kali. Bagiku lift itu terasa sangat lambat. Akhirnya aku berlari menuju tangga di sudut ruangan. Tepat ketika aku berada di lantai tiga, aku dihadang oleh dua orang polisi.
"Aku temannya Jenny," kataku.
Polisi itu menggeleng, sambil berkata, "Tunggulah disini. Inspektur sedang melakukan penyelidikan di sana."
"Apa dia baik-baik saja?"
"Apa maksud anda?"
"Inspektur Jenny? Apa dia baik-baik saja?"
"Tentu saja!" kata polisi itu dengan nada kesal.
Aku sedikit merasa lega. "Aku bersikap seperti ini karena aku mengira pembunuhnya mengincar Jenny juga," kataku menjelasakan pada mereka untuk mengurangi rasa maluku.
"Terserah lah," jawab polisi yang lebih muda.
"Tapi darimana kau tahu kalau ini kasus pembunuhan?" kata polisi yang lebih tua penuh curiga. Sesaat aku agak ragu menjawabnya.
"Dari inspektur Jenny," kataku kemudian.
Aku menunggu beberapa lama. Hingga tim medis mengangkut sebuah buntalan berbungkus kain, keluar dari kamar nomor 313. Mereka melewatiku dengan perlahan dan masuk kedalam lift. Tak lama setelah itu aku melihat Jenny dan dua anak buahnya keluar dari kamar yang sama. Salah seorang dari mereka memasang garis polisi.
Jenny melihat ke arahku dan berjalan mendekat. Setelannya begitu keren. Rambut pendek yang khas. Mantel kulit berwarna cokelat panjang hingga bawah lututnya. Kerahnya terangkat menutupi lehernya. Sekilas jika aku melihat penampilannya yang seperti detektif klasik, aku yakin tidak akan ada yang mampu menyakiti wanita ini.
Langkahnya terhenti dan meraih HP dari mantelnya. Tiba-tiba ekspresinya berubah serius. Ia berlari ke arahku, melewati anak buahnya yang mencegahku, lalu meraih tanganku seraya menarikku menuju lift.
Aku kaget, namun juga sedikit senang, karena aku sempat melihat ekspresi kedua polisi itu yang keheranan dengan aksi Jenny menggenggam tanganku dan mengajakku lari bersama. Saat sambil berlari, sepintas aku melirik wajah Jenny sambil tersenyum. Tapi wajahnya yang sedang panik langsung menciutkan hatiku. Ada apa?  Pikirku.
Ketika dalam lift Jenny menunjukkan sebuah gambar. Gambar itu adalah gambar sebuah bangunan seperti hotel juga. Namun jauh lebih tinggi dari hotel ini. Tidak terlihat nama hotel sehingga sulit ditebak. Pengirimnya jelas ingin menyembunyikan lokasinya agar polisi mencari tahu sendiri tempat itu.
"Nomor baru lagi," kata Jenny agak cemas. "Setiap pesan dan gambar yang dikirim selalu menggunakan nomor baru. Ia selalu mengganti kartunya."
"Cerdas!" kataku. "Itu membuatnya sulit dilacak."
Jenny meraih Hp-nya dari tanganku dan menghubungi Elo. Aku tahu karena sempat melihat kontaknya.
"Sudah kau dapatkan?" kata Jenny.
"Tunggu, tunggu, tunggu." Elo terdengar sibuk. "Aku dapat," kata Elo. "Central Hotel! Pusat kota!" teriaknya.
Jenny dan aku berhambur keluar dari Hotel dan berlari menuju mobil. "Pakai mobilmu," teriak Jenny padaku sambil terus berlari. Aku mengerti maksudnya agar target kami tidak waspada.
***
Kami tiba di sebuah keramaian kota. Aku dan Jenny menerobos kerumunan orang sambil berdesak-desakan.
"Itu, sebelah sana!" kata Jenny.
Aku mempercepat langkahku. Namun ketika kami tiba di pintu masuk hotel, langkah Jenny terhenti. Hp-nya kembali berbunyi. Sebuah gambar lagi, pikirku.
Aku dan Jenny tahu persis gambar apa itu. Itu sebuah gambar yang di ambil dari atas gedung, tepatnya lantai paling atas. Terlihat jelas di lantai dasar, tepat di tepi sebuah kolam renang, seorang perempuan bergaun pesta berwarna putih tertelungkup. Kepalanya dipenuhi dengan darah. Darah itu juga muncrat di lantai dekat kepalanya.
Aku sangat terkejut.
"Kita terlambat," kata Jenny. Ia berlari memasuki hotel. Di dalam, orang mulai berkerumun ke arah kolam renang yang betada di belakang bangunan utama.
"Kau urus korban aku akan mengejar pelakunya. Dia pasti masih berada di lantai atas," kata Jenny.
Aku tidak bertanya apa-apa lagi. Aku melihat Jenny berlari ke arah lift. Sedangkan aku terus ke halaman belakang.
"Beri jalan, beri jalan!" kataku setengah berteriak. Aku menerobos kerumunan orang-orang itu. Tepat ketika aku sampai di bagian tengah, aku melihat pemandangan persis seperti gambar yang di kirim ke hp Jenny. Perempuan itu masih muda mungkin usianya masih 19 tahun. Wajahnya cantik dan berkulit indah. Namun aku malah merinding melihatnya.
"Menyingkir semuanya," kataku. Aku menghubungi nomor darurat. Sekitar 15 menit kemudian beberapa polisi dan tim medis datang. Aku bisa lega sebentar. Namun aku harus segera menyusul Jenny. Aku naik ke lantai atas melalui lift.
Lantai atas itu kosong. Tidak ada apa-apa disana. Hanya sebuah pemandangan kota yang indah. Sebuah pintu di tengah menuju tangga ke lantai bawah. Di sudut tempat itu, terdapat tandon-tandon besar. Namun aku tidak melihat siapa pun disana.
Aku melangkah dengan hati-hati ke samping bangunan. Lantai itu agak basah karena gerimis. Kujulurkan kepalaku ke bawah, maka aku dapat melihat orang-orang berkerumun di salah satu sisi kolam renang di lantai dasar. Beberapa polisi sedang sibuk memeriksa mayat korban. Lalu perhatianku mengarah pada salah satu sudut yang aku yakini sebagai tempat pelaku mendorong korban. Aku mendekati tempat itu, tepat lurus di atas mayat korban di bawah sana.
Ketika aku hendak menghubungi Jenny, HP-ku berdetit. Sebuah pesan melalui WA masuk.
Aku meraih HP-ku. Seketika jangtungku berdegup. Aku bisa merasakan aura panas seperti mengalir merambati tubuhku dari jantung hingga kaki.
Pesan itu adalah sebuah gambar yang dikirim dari HP milik Jenny. Gambar itu adalah foto wanita berambut pendek, dan cantik. Dimulutnya ditutup plester. Wanita itu dalam keadaan pingsan, sedangkan tangannya terikat kebelakang. Ia hanya mengenakan kaos oblong warna abu-abu. Sebuah mantel cokelat tergelatak di sampingnya. Sosok itu meringkuk di sebuah kursi belakang sebuah mobil. Secara keseluruhan aku sangat mengenal wanita itu, yang tidak lain adalah Jenny.
***
Aku langsung berlari keluar sambil menghubungi kakaku, Alex. Dengan tergesa-gesa dan nada panik aku meminta bantuannya. Sebagai detektif senior sekaligus orang yang mementori Jenny selama ini, aku yakin dia akan tahu apa yang harus dia lakukan. Aku mengirim gambar yang dikirim ke WA-ku pada Alex.
Aku menghubungi nomor Jenny. Namun tidak ada jawaban. Aku terus berlari berusaha mencari mobil yang digunakan pelaku untuk menyekap Jenny. Namun sepertinya aku terlambat.
Lima belas menit kemudia Alex datang menghampiriku yang sedang duduk tak berdaya di sebuah pembatas jalan. Aku bangkit dan memeluknya.
Alex mengenakan jaket kulit hitam dan celana Jeans warna gelap. Tetesan air hujan bercipratan di topinya yang hitam. Tubuhnya setinggi aku dan gaya berjalannya sangat hati-hati. Berewok dan kumisnya tipis dan dicukur rapi. Matanya tajam dan penuh percaya diri. Kadang aku merasa iri pada kakakku ini. Namun perlakuannya padaku selama ini lebih dari yang aku butuhkan. Terutama saat ayah kami sudah tiada.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya sambil menepuk pipiku.
"Aku baik-baik saja," kataku. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Kita akan menunggu. Sementara teman-temanku melacak mobil Van itu."
"Darimana kau tahu itu sebuah Van?"
"Dari foto yang kau kirim. Itu jelas mobil Van," katanya. "Kau lihat bangunan sebelah sana? Ayo kita kesana."
Kami memasuki sebuah bangunan di seberang jalan. Bangunan itu adalah sebuah restoran kecil dan tidak memiliki area parkir sendiri.
"Ada yang bisa saya bantu?" kata seorang pelayan saat kami di belakang meja kasir.
Alex menunjukkan lecana dan mulai berbicara sebentar.
"CCTV?" kata pelayan bertubuh seksi itu.
"Iya," jawab kakakku singkat.
Kami lalu di antar ke sebuah pintu di sisi ruangan. Kami masuk dan berdiri di depan beberapa layar TV. Ruangan itu gelap dan penerangannya hanya dari layar TV dengan gambar berbagai sudut bangunan. Sebuah kursi membelakangi kami dan siluet bayangan seseorang sedang duduk di kursi tersebut. Siluet itu berdiri ketika kami memasuki ruangan. Kami menghampirinya.
"Ada yang bisa saya bantu?" kata orang itu. Pria di depan kami bertubuh gempal dan perawakannya pendek namun sikapnya tegas. Aku sempat melihat wajahnya yang membias cahaya layar. Wajahnya berisi terutama di bagian pipi, kumis tebal menggantung di bawah hidungnya yang lebar.
"Ya, saya yakin kamera depan restoran ini telah menangkap sebuah gambar yang kami butuhkan," kata Alex.
"Mungkin anda bisa menjelaskan dengan lebih spesifik."
"Tampilkan saja gambar dari CCTV yang menghadap ke jalan, lalu atur waktunya 30 menit yang lalu."
Orang itu melakukan perintah Alex. Aku melihat jalanan di depan bangunan yang dijadikan parkir mobil-mobil di kedua sisinya. Gambar itu perlahan bergerak mundur. Tiba-tiba kami melihat adegan yang sangat jelas. Jenny ditopang seorang pria bertopi hitam, persis topi yang dipakai Alex, memasuki sebuah Van berwarna putih. Sayangnya kami tidak melihat plat nomor mobil tersebut. Aku semakin geram melihat adegan itu. Aku tahu Jenny sedang dibius. Dan pria itu berlindung di bawah topinya.
"Ayo," kata Alex.
Kami bergegas meninggalkan tempat itu dan masuk ke mobil.
Alex memutar Ford Ranger-nya dan melaju kencang. Aku memperhatikan jalanan yang mulai licin, tapi pikiranku tak pernah bisa tenang.
Alex menghubungi seseorang, "ya, benar! Warna putih. Dimana? Sial! Kita sudah kehabisan banyak waktu!" Alex setengah berteriak. Aku melihat mimik wajahnya yang mulai tak tenang.
Hening sebentar.
"Bagaimana?" kataku.
Alex terdiam dan menggeleng pelan.
Tak lama setelah itu, HP-ku berdetit. Sebuah pesan gambar masuk. Kali ini gambar sebuah bangunan, tepatnya sederet bangunan di pusat kota. Aku memperhatikan sebentar. Foto itu di ambil dari atap sebuah bangunan ke arah jalan yang ramai. Di ujung jalan terdapat sebuah panggung besar yang menampilkan acara musik untuk perayaan tahun baru. Aku yakin pelakunya asal memotret lokasi itu karena gambarnya agak miring, sebagian adalah gambar deretan bangunan dan sebagian yang lain panggung musik yang ramai.
Aku menunjukkan gambar itu pada Alex. "Ini pasti lokasinya," kataku mulai berkeringat.
"Kau bercanda? Bagaimana kau yakin?"
"Karena ini dari pembunuhnya. Dia menggunakan HP milik Jenny.
Alex melirik ke HP-ku lagi sambil berkonsentrasi menyetir.
"Aku tahu tempat itu," kata Alex sambil mempercepat lajunya.
***
Kami turun dari mobil dan berjalan di lorong yang penuh sesak. Alex berjalan di depanku sambil mencari celah untuk lewat. Hujan yang semakin deras tidak kami hiraukan. Begitu juga bagi orang-orang yang berkerumun itu. Tampaknya hujan menjadi pemicu adrenalin mereka yang berpadu dengan musik band ternama yang beraksi di atas panggung.
Alex berusaha keluar dari jalur itu dan mencari jalan lain melalui bangunan di samping jalan. Kami memasuki sebuah bangunan perkantoran  setelah memecahkan salah satu kaca jendelanya, lalu menaiki tangga hingga tiba di lantai atas. Setelah mendobrak pintu lantai atas bangunan, kami berhasil sampai di atap.
Atap bangunan itu lebar dan memanjang. Di depan kami terdapat atap bangunan lain yang terpisah oleh gang kecil. Alex melompat dengan lihai ke atap bangunan tersebut. Aku berusaha mengikutinya, tentunya dengan usaha yang jauh lebih besar. Meskipun harus mengorbankan lutut dan sikuku yang dihantam beton atap itu, akhirnya aku berhasil melompat ke bangunan sebelah. Aku berusaha bangkit sambil tertatih.
Kami terus melompati atap-atap bangunan itu satu-demi satu hingga aku yakin kami tiba di tempat pelaku mengambil foto terakhirnya. Alex seperti mencari sesuatu. Ia berputar mencari sebuah suara teriakan di tengah alunan musik yang keras. Matanya berhenti menyelidik ketika ia menatap sebuah karung di belakang tangki-tangki air.
"Tolong!" teriak seseorang di dalam karung. Suaranya memekik habis.
Alex mengeluarkan pisau dan memotong tali pengikatnya. Seorang pria muda tampan, bahkan sangat tampan melongo menatap kami bergantian dengan ekspresi ketakutan. Ia mengenakan kaos dalam berwarna putih dan celana kain yang santai. Tangannya diikat ke belakang membuatnya susah bergerak.
"Bantu aku," kata Alex kepadaku.
Aku mengangkat bahu pria itu, sementara Alex memotong plester di tangannya.
"Siapa namamu?" kata Alex.
"Reno," jawan pria itu pelan.
"Apa yang terjadi?"
"Aku berusaha menolong seorang wanita yang diperlakukan dengan kasar oleh seorang pria. Aku malah dilumpuhkan dan dibawa kesini. Aku berterimakasih kalian telah menolongku."
"Itu pasti Jenny," kataku.
"Apa si pria memakai topi hitam, dan si wanita memakai kaos oblong?" kata Alex.
"Ya," jawab pria itu dengan ekspresi senang sekaligus heran. "Warna abu-abu," lanjutnya.
"Kemana dia membawa Jenny?" kataku tidak sabar.
"Aku tidak tahu pasti. Tapi aku bisa menebaknya, karena ia menyebut 'panggung'. Itu artinya panggung itu, kan?"
Sebuah pesan masuk ke Hp-ku, dari HP milik Jenny.
"Terlalu lamban!"
Hp-ku berdetit kedua kali. Sebuah gambar. Gambar itu pemandangan paling mengerikan dari semua gambar yang dikirim oleh pelaku. Gambar itu berlatar panggung konser musik. Seorang perempuan yang Jelas adalah Jenny, tergantung di atas panggung. Lehernya terjerat tali panjang ke atas atap panggung. Jenny tidak berkutik sedikitpun. Kepalanya tertunduk dengan leher yang terangkat ke atas. Rambutnya yang pendek terjuntai ke depan menutupi wajahnya. Kaos oblong abu-abu dan celana hitamnya seperti berayun-ayun dalam gambar itu. Bersamaan dengan gambar ini dikirim, acara konser terhenti. Terdengar suara gaduh dari penonton dan personil band yang sedang pentas. Namun kejutan itu tidak ada artinya dibandingkan kejutan di jantungku. Jantungku seperti mau meledak. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku meski malam itu cukup dingin dan hujan. Aku terjatuh tidak kuat untuk berdiri. Sepertinya aku tidak bisa merasakan kaki dan tanganku. Lalu tiba-tiba Alex menangkap bahuku. Ia melihat pesan di Hp-ku, kemudian berbisik pelan, "kuatkan dirimu, Eddo! Aku tidak akan membiarkan pembunuhnya lolos! Tidak akan pernah !"
Alex bangkit dan berlari melompati atap bangunan. Aku pun dengan cepat melawan rasa dukaku. Aku bangkit dan berlari. Tidak terasa air mataku menetes mengalir di pipiku bercampur air hujan malam itu.
Kami sampai di bangunan tepat di samping panggung megah itu. Sebuah tali yang menjerat leher Jenny terikat di bangunan ini. Alex dengan cepat memotong tali itu. Seketika tubuh Jenny diturunkan secara perlahan. Aku berpikir itu seperti sebuah penghormatan.
"Periksa dia," kata Alex. Aku akan mengejar pelakunya. Dia berada di sekitar sini.
Aku bersama Reno, pemuda tadi yang kami tolong, turun melalui tangga. Lalu kami berhambur keluar dan menaiki panggung. Aku mendekati tubuh Jenny dan merangkulnya. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku membelai rambutnya dan melihat wajahnya. Aku sangat terkejut untuk kedua kalinya. Namun kali ini adalah perasaan lega. Wanita yang ada di pangkuanku bukanlah Jenny. Aku terdiam sejenak dan berpikir. Aku dan Alex sudah dipermainkan.
"Wanita ini bukan wanita yang aku tolong," kata Reno.
Aku mengangguk dan menatap ke atas bangunan. Hp-ku berbunyi lagi. Itu sebuah foto Jenny yang asli, masih seperti posisi semula hanya saja ia berada dalam sebuah ruangan kecil. Mulutnya tetap di plester dan sepertinya dia sudah siuman. Aku merasa senang. Namun tulisan pesan di bawah gambar itu cukup membuat jantungku berdegup kencang.
Merasa senang?! Jangan dulu karena permainan belum selesai. Waktumu hingga jam 12.00. Jika kau tidak berhasil menemukanku kau akan merayakan tahun baru tanpa gadismu!
Aku melihat jam tanganku. Lima belas menit lagi. Aku bangkit berdiri dan berlari menyusul Alex.
Saat tiba di atap aku mendengar sebuah tembakan agak jauh di barat. Aku segera menuju arah tembakan itu. Setibanya disana, aku melihat Alex sedang mengarahkan pistolnya ke arah seorang laki-laki bertopi hitam. Jaketnya berwana gelap. Penampilan pria itu sama persis dengan Alex. Di tangannya, Ia menodongkan sebuah pistol ke arah Jenny yang didekapnya dari belakang, tepat di bagian pelipis. Pria itu bersembunyi di belakang tubuh Jenny yang terlihat lemas. Aku mengerti, ini situasi krisis.
"Jatuhkan sejatamu, Alex," kata Pria bertopi hitam seraya mengancam dengan mendorong ujung pistolnya ke pelipis Jenny.
Alex terdiam sebentar. "Kau tidak akan bisa lolos kali ini, Rey. Sekian lama aku mencarimu dan akhirnya kita berhadapan kembali. Kenapa kau berani muncul ke permukaan? Heh! Pasti karena kematian kakakmu si Barong, kan?"
Pria bernama Rey itu tertawa.
Tiba-tiba aku melihat Reno berjalan dengan perlahan membelakangi pria itu dan menyergap pistolnya. Posisinya berubah seketika. Reno menodongkan pistol ke arah kepala Rey. Spontan Rey melepaskan Jenny. Jenny segera menyamping mencari posisi aman. Sedangkan Rey tertunduk sambil mengangkat tangannya.
Aku berjalan di belakang Alex mendekati Rey.
Rey tertawa lagi. Aku yakin orang ini agak sinting.
Kejadian berikutnya tidak begitu jelas dan membuatku bingung. Jenny tiba-tiba melompat ke arah Reno dan menyergap pistolnya. Bersamaan dengan itu terdengar suara tembakan disertai peluru yang melesat ke arahku. Alex terjatuh seketika itu juga. Dengan sigap aku merangkulnya dari belakang. Sementara Jenny berkerumul dengan Reno. Dengan cepat aku meraih pistol milik kakakku dan menembakkannnya ke arah Rey. Aku cukup yakin tembakanku mengenai dadanya, nyatanya aku salah. Peluru itu hanya menggores bahu kanannya. Saat itu aku sangat menyesal karena selalu menolak diajari cara menembak oleh Alex.
Rey berguling-guling kesakitan.
Tiba-tiba terdengar tembakan ke dua. Tembakan itu adalah tembakan dari pistol di tangan Jenny ke arah kepala Reno. Aku bisa melihat persisnya saat kepalanya meledak. Darah begitu deras muncrat ke wajah Jenny yang berada di bawah mayat Reno. Aku segera menghampiri Jenny dan membantunya menyingkirkan mayat pemuda itu. Jenny bangkit dan menodongkan pistolnya ke arah Rey yang terkapar. Aku masih melihat senyum keji di bibir pria itu. Lalu aku menghampiri Alex dan memeriksa lukanya.
Tangan kanannnya menepuk pipiku pelan sambil berbisik, "jaket anti peluru," katanya. "Seharusnya kau mau kuajari menembak," tambahnya sambil tersenyum.
"Syukurlah kau tidak apa-apa," kataku.
"Bantu aku berdiri, Ed."
Aku merangkul kakakku dan meletakkan lengannya di bahuku.
Kami menghampiri Jenny yang tampak berantakan, ketika lonceng jam kota berdeting 12 kali. Kegaduhan di panggung konser dan tempat itu masih berlangsung. Beberapa polisi mengurus mayat gadis malang itu. Sedangkan Rey diringkus dan dibawa ke kantor polisi.
***
Ketika aku masuk ke ruangan tempat kakakku dirawat, Jenny menurunkan buku yang sedang ia baca, lalu menoleh ke arahku. Saat itu Jenny sedang duduk sambil membaca sebuah novel di atas sebuah kursi di sisi ruangan. Mulutnya terlihat penuh mengunyah biskuit. Penampilannya jauh lebih bersih dan segar daripada beberapa jam yang lalu.
Sedangkan Alex sedang tiduran di ranjang di tengah ruangan. Kakinya diangkat sambil digerak-gerakkan. Maka aku pun tahu kalau dia tidak tidur meski matanya terpejam.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku pada Alex dan Jenny.
"Apanya?" kata Jenny.
"Kenapa pria bernama Rey itu sangat terobsesi denganmu? Dan siapa sebenarnya pria bernama Reno itu?"
"Kakakmu lebih tahu dari aku mengenai hal itu," kata Jenny melirik Alex. Alex membuka matanya dan susah payah berusaha untuk bangun. Aku membantunya lalu duduk di samping Jenny.
"Bukankah aku sudah memberimu peringatan untuk berhati-hati, Jen?" kata Alex.
Jenny hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum kecut.
"Mungkin kau masih ingat beberapa bulan yang lalu, ketika Jenny berhasil memecahkan kasus internasional itu. Pelakunya adalah Barong salah satu penjahat paling ditakuti di kota ini. Sedangkan Rey adalah adik kandungnya. Reputasinya jauh melampaui kakaknya. Ia adalah mantan rekanku di kepolisian sekaligus musuh bebuyutanku sejak kau masih SMA. Kau juga masih ingat kenapa aku mengirim kalian ke kalimantan beberapa tahun lalu? Itu karena aku khawatir Rey yang mendalangi kericuhan itu. Nyawamu dan Jenny saat itu sedang terancam dan aku tidak mau ambil resiko. Barong dihukum mati setelah tertangkap. Aku pun sadar tidak lama setelah itu Rey pasti mengincar Jenny. Makanya aku mengirim peringatan itu pada Jenny. Ketika kau mengirim foto Jenny yang sedang dibius aku yakin itu adalah perbuatan Rey."
"Lalu siapa pria muda bernama Reno itu?" kataku.
"Jujur saja aku tidak tahu. Jenny lebih tahu hal itu."
"Dia anak buah Rey. Dialah yang membunuh Sofia di kamar Hotel Laguna. Sedangkan wanita yang di dorong dari lantai atas sebuah hotel pasti Rey pelakunya. Karena dia yang membiusku."
"Kalau begitu darimana kau tahu bahwa Reno pelaku pembunuhan pertama itu?"
"Dari resepsionisnya. Namanya bahkan tidak disembunyikan. Nama lengkapnya Reno Kahiwian. Ia menyewa kamar hotel itu dengan KTP asli. Hebatnya penjahat kelas kakap ini, bahkan Elo butuh waktu untuk mencari profilnya."
"Berarti kau sudah tahu pelakunya ketika aku datang menyusulmu?"
"Iya, tapi waktu itu aku tidak tahu bahwa pelakunya lebih dari satu orang. Ketika Reno berpura-pura merebut senjata Rey aku sudah tahu bahwa dia akan mencelakai kalian berdua. Aku terkejut bagaimana pelaku yang aku cari bisa muncul di belakangku dan seakan-akan mau menyelamatkanku."
"Siapa wanita malang yang mengenakan bajumu itu?"
"Namanya Ela, ia gadis yang baik. Aku sempat bertemu dengannya saat kami diculik dan dia berusaha membantuku. Korban kedua aku belum mengetahui siapa. Nanti Pak Kepala akan menginformasikannya padaku."
Aku bersyukur, di pagi hari ini, aku dan Jenny masih selamat dari serangan maut itu. Sedangkan Alex harus menerima perawatan di rumah sakit selama satu hari, sebelum akhirnya diperbolehkan pulang. Istri dan anaknya berkunjung pagi itu setelah aku dan Jenny hedak pergi.

Thursday 8 September 2016

Detektif Jen : Misteri Ruangan Tertutup

CERPEN DETEKTIF JEN : "Bisakah kau berhenti dulu?" kataku.
Jenny menurunkan buku yang dibacanya. Lalu tampak lah wajahnya yang sedang serius membaca novel kesukaannya.
"Apanya?" katanya balik bertanya seakan tidak mengerti maksudku. Aku yakin pikirannya masih tertuju pada buku, walaupun ia sedang menatapku.
"Baca bukunya! Kau bisa melanjutkan nanti kan, Jen?"
"Sebentar! Ok? Bentar lagi kok," jawabnya tidak peduli padaku dan kembali menutup wajahnya dengan buku. Sontak aku bangun dari tempat dudukku dan merampas bukunya.
"Ah, Eddo!!!" serunya. "Kembalikan dong, Sayaaang!"
"Tidak, sebelum kau menghabiskan makan siangmu," kataku. "Sebentar lagi kau harus kembali ke kantor. Kita tidak punya banyak waktu bersama akhir-akhir ini. Sedangkan sekarang kau malah membaca buku novel ini saat makan siang denganku."
Ia cemberut.
"Ok! Ok! Simpan saja bukunya. Mana yang harus aku makan dulu?" katanya sedikit jengkel.
Aku hanya menggelengkan kepala, melihat tingkahnya. Ia mulai melahap ayam goreng di atas meja sambil menaikkan salah satu kakinya ke kursi dan duduk dengan gaya khas.
"Hem, bagaimana sekarang?" katanya. Mulutnya penuh dengan makanan. Matanya menatap aku sambil menantang. Aku  tau dia sengaja ingin membuatku marah, dan mengajakku bertengkar. Maka aku berpura-pura tidak peduli. Tak lama setelah itu, handphone-nya berdering.
"Halo?" Jenny mengangkat teleponnya. "Baik, Pak!" Lanjutnya. "Siap!"
Ia menutup teleponnya dan melihat ke arahku. "Cepat habiskan dan ikutlah denganku," katanya. "Kita punya waktu bersama lebih lama sekarang," tambahnya sambil makan dengan cepat.
"Ada apa?" tanyaku penasaran.
"Ada pembunuhan! Ayo cepat!" Kata Jenny mulai berdiri sesudah meneguk minumannya. Aku yang melihatnya bergegas pun, segara meminum jus jerukku dan mengikuti Jenny yang setengah berlari.
"Jen, tunggu!" Panggilku sambil membuka pintu keluar restoran. "Oh, sial! Aku lupa belum membayar bon-nya."
***
Kami tiba di sebuah apartemen di pinggiran kota. Kami masuk dan langsung menuju lift. Jenny menekan tombol lantai tiga.
Saat kami berada di lantai tiga, aku melihat orang sudah berkerumun di depan pintu sebuah kamar apartemen.
Tempat itu adalah sebuah koridor panjang berlatar gelap. Di kedua sisinya berjajar pintu-pintu kayu yang dicat warna cerah. Di atas, tergantung lampu-lampu kecil berbaris hingga ujung koridor, tidak menyala karena siang hari. Satu-satunya cahaya yang masuk ke tempat itu adalah dari jendela besar di ujung koridor. Tidak begitu terang namun cukup memberikan kesan cerah.
Aku merasakan hawanya sejuk, malah cenderung dingin, bukan karena AC melainkan karena udara yang mencekam. Aku berjalan dengan ketir. Langkahku pelan dan hati-hati meski Jenny begitu terburu-buru.
Orang-orang menatap kami berdua dengan penasaran. Jenny tidak mengenakan seragam, maka aku tidak kaget dengan sikap orang-orang itu. Jenny menunjukkan lecananya, seketika orang-orang itu tahu bahwa kami datang untuk melakukan penyidikan.
Seorang satpam menghampiri kami dan bersalaman. Ia mengenakan seragam satpam lengkap. Di dadanya tertulis namanya 'Sodik'. Perawakannya tinggi besar. Potongan rambutnya rapi. Kumis tipis dan janggutnya memberi kesan keperkasaannya. Meski demikian, ia terlihat ramah.
"Apa yang terjadi?" tanya Jenny.
Satpam itu menunjuk ke bawah sebuah pintu. Dari bawah pintu itu, cairan berwarna merah gelap mengalir keluar. Aku tahu itu darah.
Jenny meminta orang-orang untuk menjauh. Jenny memegang gagang pintu. "Apa pintunya terbuka?"
"Kami terpaksa mendobraknya," jawab satpam tempat itu.
Jenny mulai membuka pintu secara perlahan. Namu ketika pintu tersebut terbuka tidak sampai separuhnya, pintu itu seperti terganjal sesuatu. Jenny melongo ke dalam dan terdiam sebentar. Ia menoleh ke arahku dan orang-orang berdiri. "Tetaplah menjauh," katanya. Ia mulai melangkah masuk dengan susah payah.
Aku mendekat ke pintu agar tidak ada orang yang merusak TKP. "Apa tadi anda mengecek ke dalam?" tanyaku pada satpam itu.
"Iya, saya mengintip seperti itu juga. Lalu saya menghubungi polisi dan ambulan," jawab satpam itu.
"Siapa yang menemukannya?"
"Dia," katanya sambil menunjuk salah seorang yang berdiri di antara kerumunan orang. Orang yang ditunjuk itu mendekat. Tubuhnya kurus dan kecil. Sikapnya agak canggung dan gugup. Wajahnya pucat dan keringat mulai menetes di keningnya yang tipis. Matanya agak menonjol dan dibingkai sebuah kacamata bulat. Mata itu memancarkan ketakutan. Aku mengira ia orang yang mudah gugup. Ia menyalami tanganku dengan jari-jarinya yang panjang dan dingin.
"Pak," katanya menyapa.
"Siapa nama anda?" tanyaku.
"Nama saya Sahwini, Pak."
Orang bernama Sahwini ini agak gemetar saat bicara.
"Apa benar anda yang pertama kali melihat ini?"
"Iya, Pak."
"Bersama siapa anda saat itu?"
"Saya kebetulan sendirian, Pak. Kemudian saya memanggil satpam. Lalu beberapa orang mulai berdatangan. Saat itulah anda datang.
Saat aku sedang berbicara dengan Pak Sahwini, dua tim medis datang membawa tandu. Mereka menyampaikan beberapa hal maksud mereka. Belum sempat aku bicara Jenny sudah selesai memeriksa. Ia keluar dengan membawa bungkusan plastik berisi benda-benda kecil. Aku yakin itu adalah barang bukti atau barang penting untuk penyelidikan.
"Anda boleh membawa mayatnya sekarang," katanya kepada salah satu petugas medis tadi.
Mereka masuk dengan hati-hati.
***
Aku lihat mayat korban di tandu keluar. Saat melewatiku, aku memberanikan diri membuka kain penutupnya. Sangat mengerikan! Korbannya adalah seorang pria. Usianya sekitar 30 tahun. Wajahnya tampan dan berkulit putih namun dalam keadaan seperti itu dia tampak mengenaskan. Di kepalanya tepat dipelipis bagian depan terdapat lubang bekas tembakan. Darah segar hampir kering merembes keluar menutupi sebagian wajahnya. Sesaat aku menatap wajah itu, seperti merasakan rasa penasaran jiwanya. Seketika itu aku langsung memalingkan wajahku dan menutupnya kembali.
Aku melirik Jenny.
Ia berdiri sambil berpikir. "Benar-benar aneh dan rumit," katanya.
"Siapa nama korban?" tanyaku.
"Pasport-nya jelas ada, ini. Namanya Simon Toya, Warga negara Autralia. Aku yakin dia campuran Indonesia. Pekerjaan Wiraswasta. Itu yang tertulis di pasport-nya. Namun, aku yakin dia adalah seorang ahli komputer. Kau lihat itu?" Jenny membuka pintu kamar apartemen korban. Di sudut ruangan, aku melihat banyak sekali perangkat komputer.
"Aku khawatir ini akan melibatkan mafia kota ini," katanya lagi.
"Bagaimana kau berkesimpulan seperti itu?"
"Entahlah. Setiap kasus pembunuhan warga asing biasanya melibatkan orang-orang elit. Pembunuhan ini bukan suatu kebetulan tapi sesuatu yang sudah direncanakan. Saat satpam dan orang-orang itu tiba disini, pintunya sedang terkunci dari dalam. Aku bisa memastikan hal tersebut. Lihat ini," kata Jenny menunjuk knop pintu. Knop itu rusak yang menandakan pintu dibuka secara paksa.
"Kenap satpam atau pemilik apartemen tidak menggunakan kunci cadangan saja untuk membukanya?"
"Mungkin mereka tidak memiliki kunci cadangan. Kalaupun mereka punya itu akan percuma. Lihat ini," kata Jenny menunjuk lubang kunci sebelah dalam. "Kuncinya masih terpasang disana."
Aku mengangguk.
"Jadi kalaupun menggunakan kunci lain tetap tidak akan bisa dibuka karena dari sisi lain kuncinya masih terpasang, ya?" kataku.
"Semua jendela terkuci dari dalam. Slotnya terpasang sempurna. Darimana pembunuhnya masuk? Padahal jelas-jelas korban tertembak di bagian kepalanya," ujar Jenny berpikir. Ia melangkah ke dalam sambil memeriksa ulang tempat itu. Aku mengikutinya di belakang. Orang-orang masih berkerumun di koridor.
Apartemen itu cukup luas. Ada kamar tidur, dapur, kamar mandi dan ruang tamu. Seperti yang aku jelaskan tadi, di sudut ruang tamu terdapat meja komputer. Beberapa alat dan perangkat komputer seperti headset, scanner dan lain-lain, berserakan di lantai dan meja. Sebuah TV sedang menyala namun volumenya pelan, duduk di atas meja buffet di sisi yang lain. Di atasnya tergantung lukisan pemandangan danau dan gunung. Aku sama sekali tidak melihat hal yang aneh. Namun suasana ruangan itu begitu mencekam. Aku mendangak ke atas sudut ruangan. AC-nya menyala denga kencang.
"Aku sering membaca novel detektif," kataku, "milikmu tentunnya, tapi terus terang kasus ini benar-benar rumit. Bagaimana menurutmu, Jen?"
"Ssst !" Jenny mengisyaratkan dengan jarinya. Ia naik ke sebuah kursi dan mencoba mencari jalan masuk lewat atap. Tapi percuma. Tidak ada jalan lewat atap.
"Semua tertutup rapat. Tidak mungkin lewat atap," katanya kecewa. "Jika kau peka," katanya lagi, "kau akan mendapat beberapa detil yang aneh dalam ruangan ini. Di mulai dari pintu itu." Jenny menunjuk pintu masuk. Maka aku pun menoleh ke arah yang ditunjuk Jenny.
"Bisa kau jelaskan maksudmu?"
"Ya, seperti knop pintu yang rusak, lubang untuk mengintip di pintu itu..." katanya.
Aku memang melihat tiap pintu apartemen itu semua memiliki lubang kecil untuk mengintip keluar agar orang di dalam tahu siapa yang berada di depan pintu.
"...kamar yang terkuci dari dalam, dan ini," kata Jenny mengeluarkan bungkusan plastik transparan berisi sebuah amplop kecil berwana putih. Amplop itu sebagian permukaannya terkena noda darah.
"Apa itu?" tanyaku spontan walaupun aku tahu itu sebuah amplop.
"Amplop ini," kata Jenny, "sama halnya dengan ruangan ini, sama anehnya. Amplop ini kosong, tapi lemnya terpasang, dan sudah terbuka. Aku sudah mencari isinya di ruangan ini, tapi tidak menemukannya. Tidak ada isi, tidak ada tulisan apapun, baik pengirim atau penerimanya. Ini seperti kerjaan orang iseng tapi toh nyatanya ada nyawa seseorang yang melayang. Jadi amplop ini sungguh penting. Seandainya aku cukup cerdas aku harusnya tahu apa maksud amplop ini. Amplop ini tergeletak di lantai dekat mayat korban tepat di belakang pintu."
"Mungikin itu hanya kebetulan," kataku.
"Tidak mungkin. Amplop ini lebih penting dari benda-benda lain di ruangan ini. Tapi untuk apa? Aku belum bisa menjawabnya."
"Apa lagi yang kau temukan?"
Jenny mengeluarkan benda-benda dari sakunya lalu diletakkan di atas meja. Ada kacamata dan sebuah handphone. "Kedua benda ini tidak banyak memberikan petunjuk. Hanya beberapa detil seperti korban adalah seorang perokok, mata kanan minus 1,5 dan kiri 2, agak sembronoh, malas, tidak memiliki pacar, hobinya pasti komputer dan dia anti sosial. Siapapun bisa menjadi pembunuhnya. Di handphone-nya, tidak ada kontak sama sekali, hanya nomor operator, log panggilan dan sms sudah dibersihkan, entah oleh pelaku atau korban sendiri."
Jenny terdiam sebentar.
"Aku akan memeriksa komputernya," kata Jenny. Ia menyalakan komputer milik korban. Namun komputer tersebut diproteksi oleh password. "Aku membutuhkan bantuan Elo," katanya.
"Siapa dia?"
"Seorang ahli IT kepolisian," jawab Jenny sambil menghubungi seseorang.
***
"Bagaimana?" kata Jenny saat Elo memeriksa komputer Simon Toya.
"Beri aku waktu sebentar," kata Elo.
Aku dan Jenny berdiri di samping Elo.
Elo adalah pemuda kurus berkacamata. Bola matanya bergerak-gerak di depan komputer. Sesekali ia mendorong kacamatanya sedikit ke atas dengan jarinya yang panjang dan kurus.
"Tunggu, tunggu, tunggu," katanya. "Yes, dapat! Lihat? Disini tidak ada hal yang sulit. Aku mendapat berkas transaksi barang-barang ilegal. Di komputer ini hanya data ini yang menurutku paling penting. Hanya ini."
"Bisa kau cek siapa yang melakukan transaksi tersebut?"
"Tentu, namanya adalah Nikolay Arbess. Apa kau kenal?" Elo melirik Jenny.
"Tidak. Bisakah kau cari tahu?"
"Sebentar."
Komputer itu mulai menampilkan profil orang-orang dalam sebuah sistem. Gambar itu bergeser bergantian hingga berhenti pada sebuah gambar separuh badan seseorang berdasi dan tampan. Usianya mungkin 40 tahunan. Bersamaan dengan itu terdengar bunyi seperti alarm dari komputer itu lalu berhenti.
"Dia seorang warga Australia, pemimpin Leto's.corp. yang bergerak di bidang kimia dan obat-obatan," kata Elo.
"Lalu apa hubungannya dengan korban?"
"Jika di lihat dari data ini, serta akses komputer ini, aku yakin korban bekerja untuk Nikolay Arbess."
"Barang macam apa yang mereka jual?"
"Lihatlah, ini hampir semua jenis NAPZA. Aku bisa menampilkan detilnya."
Jenny dan aku terdiam sebentar memperhatikan dekstop tersebut.
"Lalu kepada siapa barang-barang itu dijual?"
"Transaksi terakhir disini tidak tercantum namanya. Tapi aku rasa aku bisa mencari tahu, beri aku waktu satu hari.
"Lalu bagaimana cara menemui Nikolay?"
"Aku tidak tahu. Hal itu sepertinya sulit dilakukan aku yakin dia tidak ada di Indonesia. Ini merupakan kasus internasional dan bukan hanya kasus pembunuhan tapi juga penyelundupan barang ilegal. Lihat hampir semua transaksi di lakukan di tiga tempat, Denpasar, Bali;  Jakarta dan Surabaya. Kita akan kesulitan menangkap pembunuhnya."
"Ya, kau benar. Tenang saja kita ikuti saja petunjuk yang ada. Hasil optopsi akan memberikan kita informasi yang dibutuhkan." Jenny menepuk bahu Elo dengan pelan.
***
Hari itu berakhir dengan sangat mengecewakan. Aku kembali ke apartemenku pada jam 20.00. Aku berusaha untuk tidur jam 22.00 tapi tidak bisa. Keesokan harinya Jenny tidak menguhubungiku padahal aku sangat ingin ikut serta dalam penyelidikannya. Maka hari itu aku habiskan untuk melakukan pekerjaanku sendiri. Baru pada hari ketiga, tepatnya sore hari saat matahari hampir terbenam, Jenny datang ke apartemenku. Aku sedikit terkejut ketika membuka pintu apartemenku dan melihat Jenny berdiri disana.
"Apa kau sibuk?"
"Tidak sama sekali," kataku."
"Kalau begitu ikutlah denganku. Aku yakin semua berita di TV dan koran akan memuat kasus yang aku tangani. Baru kemarin saja, pemberitaan sudah banyak yang mengabarkan tentang pembunuhan warga asing bernama Simon Toya itu."
"Lalu apa kau sudah menemukan pelakunya?"
"Iya. Kepolisian pusat termasuk BIN sekarang sudah bergerak untuk menindak lanjuti laporanku," ujar Jenny sambil melihat jam tangannya.
"Lalu kau mau mengajakku kemana?" tanyaku saat di dalam mobil.
"Kau jalan saja," kata Jenny sambil memutar musik mobilnya.
Beberapa menit kemudian Jenny menyuruhku menepi. "Apa kau mau kebab?" Katanya. Aku mengangguk saja meski sebenarnya tidak sabar ingin tahu kami mau kemana.
Sambil memakan kebab-nya di dalam mobil, Jenny bercerita.
"Kasus yang aku tangani ini salah satu kasus yang membutuhkan kejelian dan analisis yang tajam. Kau masih ingat tentang amplop yang sebagian ujungnya terkena noda darah itu? Amplop itu, aku temukan tepat di samping korban, tepatnya di lantai di belakang pintu masuk. Jika kau perhatikan, ada jarak antara bagian bawah pintu tersebut dengan lantai."
"Lalu apa hubungannya dengan amplop tadi?"
"Pertanyaan sederhananya adalah bagaimana pelaku melakukan pembunuhan itu? Bagaimana cara si pembunuh masuk?"
"Bagaimana? Itu sungguh cara yang rumit pastinya," kataku.
"Justru sebaliknya," kata Jenny. "Caranya malah sangat sederhana. Otakku saja yang lambat dalam berpikir. Model pintu, lubang di pintu, bagian bawah pintu dan amplop itu memberiku satu kesimpulan sederhana. Aku malah dialihkan untuk memeriksa pintu, jendela dan atap yang sebenarnya tidak perlu. Pembunuhnya pintar karena memberi kesan ia telah masuk ke apartemen itu lalu membunuh korban, mengunci pintu lalu keluar entah dari mana. Padahal dia sama sekali tidak masuk ke apartemen korban. Yang ia lakukan hanya mengetuk pintu. Korban yang sedang menonton TV, mengecilkan volumenya lalu menuju pintu. Sesudah korban mengintip dari lubang pintu, pelaku menunjukkan amplop kosong yang kemudian ia masukkan lewat bawah pintu. Aku yakin pelakunya adalah orang yang dikenal korban karena tampaknya ia tak curiga sedikitpun. Selanjutnya korban mengambil amplop itu, membukanya dan ia jatuh pingsan karena dalam amplop itu terdapat serbuk racun. Tim forensik memeriksa baju korban yang penuh dengan serbuk itu. Pembunuhnya menembak korban melalui celah di bawah pintu dan DOOR!" Jenny mencontohkan dengan jari telunjuknya yang lentik ke arahku. Tentu saja aku sedikit terkejut. "Tepat di kepalanya," lanjutnya. "Aku sudah merasa aneh dengan posisi peluru yang agak ke samping tidak pas di dahi tapi juga tidak tepat di pelipis melainkan di antara dahi depan dan pelipis sebelah kanan. Tapi aku tak begitu tanggap melihat hal aneh ini, padahal hal sepele apapun tidak boleh aku lewatkan. Dari hasil otopsi juga diketahui bahwa pelakunya bertangan kidal. Peluru yang digunakan berasal dari sebuah pistol tipe FN57. Selanjutnya aku dibantu rekanku Firman Herlambang mencari data orang-orang yang memiliki hubungan dengan Simon Toya, terutama yang bertransaksi dengan Nikolay Arbess. Elo sangat cepat kerjanya hanya butuh semenit saja ia sudah memberi kami daftar orang-orang itu."
"Seharian itu penyelidikanku seperti sia-sia. Namun ada satu orang yang menurtku paling berkesemapatan untuk melakukan pembunuhan itu. Kau mungkin masih ingat orang yang terakhir kali melakukan transaksi dengan Nikolay? Elo berhasil mendapatkan profilnya. Namanya adalah Tomi Wibowo. Dia adalah pimpinan salah satu perusahaan Expor impor terbesar di Indonesia. Dia sebenarnya sudah masuk daftar hitam kepolisian Indonesia, namun mereka belum memiliki bukti apa pun untuk menangkapnya, hingga mereka menerima laporanku."
"Jadi dia yang membunuh Simon?"
"Bukan, tapi anak buahnya. Namanya Jo. Dia dikenal dengan nama Barong. Namanya selalu berubah-ubah. Elo memperlihatkan rekaman CCTV yang terpasang di parkiran apartemen Simon Toya. Pada jam pembunuhan Simon, orang ini terlihat mengunjungi apartemen tersebut dan hanya 10 menit kemudian dia meninggalkan tempat itu. Mereka sudah sama-sama kenal jadi itu mudah saja bagi si Barong menghabisinya."
"Apa motifnya?"
"Simon Toya ini, secara sengaja masuk ke jaringan data milik Tomi Wibowo pasca transaksi terakhir dan mencuri beberapa informasi perusahaan tersebut. Ada sejumlah transaksi yang tak wajar berhasil ditemukan oleh Elo. Aku yakin itu penyebabnya."
"Apa mereka sudah ditangkap?"
"Kau akan segera melihatnya," kata Jenny.
Mobil kami berhenti di sebuah jalanan kosong. Jauh ke utara, ada sebuah gudang tua. Sebuah lampu kecil tergantung di bawah atap.
Jenny meneropong ke arah gudang tua itu, lalu memberikannya padaku. Di tengah gelapnya tanaman jagung, aku melihat beberapa polisi tak berseragam mengendap-ngendap di kejauhan. Mereka mengepung dari semua arah. Aku menyaksikan penyergapan itu dengan tegang. Salah seorang dari mereka memberi kode. Tiba-tiba terdengar suara tembakan, lalu disusul tembakan yang lain. Adegan itu persis seperti dalam film. Sekitar satu jam baku tembak itu berlangsung sebelum akhirnya polisi berhasil meringkus kelompok tersebut. Semua anggota penjahat itu tertangkap termasuk Barong. Namun Tomi Wibowo tidak ada di tempat itu.
Kami mendekati polisi-polisi itu beberapa menit kemudian. Jenny disambut dengan gembira oleh pimpinan operasi tersebut. Namun Jenny melarang menyebutkan namanya dalam tulisanku. Dia berperawakan gagah dan berani, langkahnya kaku dan hati-hati. Dia menyalami kami dengan hangat serta mengucapkan terimakasih kepada Jenny.
Aku sempat melihat sosok Baron denga brewoknya yang lebat. Matanya tajam dan penuh amarah. Kakinya terluka karena tertembak. Ia dan rekannya sejumlah lima orang dibawa masuk ke dalam mobil.
Aku merangkul bahu Jenny dan memperhatikan rombongan mobil itu pergi. "Sekarang kita pulang," katanya.
"Ya," jawabku dengan lega.

Monday 5 September 2016

Detektif Jen : Misteri Mayat di Pondok Graha Indah

CERPEN DETEKTIF JEN : Sejak aku baru menegenalnya waktu kuliah, Jenny memang menyukai hal-hal berbau misteri. Novel detektif, cerita horror, pembunuhan, teka-teki, mencari petunjuk dan memecahkan masalah adalah kesehariannya.
Selama enam tahun bersamanya, hampir setiap hari dia memberiku soal teka-teki dan tiap minggu saat bersamaku, dia tidak pernah absen membeli buku cerita misteri dan detektif. Maka tidak kaget jika di kamarnya bertumpuk novel-novel semacam itu. Aku pun akhirnya menyukai buku-buku yang ia baca. Karena setiap aku berkunjung pasti buku-buku itu lah yang menjadi sajianku.
Di waktu senggangku, aku kadang mengajaknya nonton. Tidak sulit ditebak, film-film apa yang ditonton kami. Jika bukan horror, misteri pasti tentang detektif seperti gendre crime dan thriller.
Memang aku mengakui, bakatnya di bidang forensik cukup menonjol, daya ingat yang kuat serta kemampuan analisisnya sangat mumpuni. Memang karakter-karakter seorang detektif fiksi, yang aku baca dari koleksi Jenny, biasanya memiliki daya imaginasi yang tinggi dan tertarik dengan hal-hal detil yang tidak menarik bagi orang lain pada umumnya. Jenny juga memiliki karakter tersebut. Aku pun sempat dibuat kesal karena dia selalu memperhatikan penampilanku, parfum yang aku pakai, sepatu, kerah baju bahkan sampai foot step motorku tidak luput dari perhatiannya.
Setelah belajar banyak hal dari kakakku, akhirnya dia diterima sebagai detektif polisi. Aku pun turut senang, walaupun sedikit khawatir dengan resiko pekerjaannya.
Sudah seminggu aku tidak bertemu dengan Jenny, sejak dia diterima sebagai Reserse di Surabaya. Kadang aku merasa rindu dengan tingkahnya yang konyol, polos dan lucu. Dan yang paling membuatku tidak tahan untuk segera bertemu dengannya adalah ekpresi wajahnya yang malas dan manja ketika aku bangunkan di pagi hari. Dia paling kesal saat di bangunkan di pagi hari, tapi justru paling aku suka.
Tapi dia sudah pindah apartemen. Aku pun agak sibuk akhir-akhir ini. Jadi kami jarang bertemu.
Baru pada hari Sabtu pagi, aku menerima pesan darinya melalui WA. Dia minta bertemu denganku di sebuah restoran. Maka dengan senang hati aku memenuhi permintaannya.
Jenny memberiku pelukan hangat, saat menemuiku. Senyumnya tersungging menghias wajahnya yang oval. Wajah itu khas seperti Jenny yang aku kenal, mata agak sipit yang manja, hidung yang mancung, tatapan yang jeli penuh selidik, semuanya sangat ku hafal. Namun yang berubah adalah potongan rambutnya yang pendek namun elegan. Unik dan terkesan simple.
Hatiku sedikit berdegup. Keringat di keningku mulai menetes. Namun aku berusaha menutupi perasaanku. Aku mengalihkan perhatiannya dengan menggenggam tangannya, lalu mengantarnya ke sebuah tempat duduk di sudut restoran. Ia tersenyum bahagia dan mencubit pipiku pelan.
"Iih, sejak kapan kau punya kumis tipis," serunya gemas.
Aku hanya tertawa pelan sambil berkilah.
***
"Aku akan pergi keluar kota, menangani sebuah kasus," kata Jenny. "Sama sekali bukan kasus berbahaya, hanya pengusutan ulang."
"Kasus apa?"
Jenny mengeluarkan sebuah foto. Foto itu adalah foto setengah badan seorang pemuda tampan berpenampilan casual.
"Entahlah," katanya. "Anak muda ini bernama Eka Pradana. Pekerjaanya sama denganmu tapi dia adalah penulis novel. Dia ditemukan tewas dalam sebuah kamar penginapan Graha Indah. Dia kesana untuk menyelesaikan novel terbarunya. Kau tahu, Graha Indah ini adalah sebuah penginapan yang menghadap ke sebuah danau. Tempat itu adalah tempat sepi. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja tempat itu ramai pengunjung, seperti saat liburan atau akhir pekan. Dan Graha Indah ini tidak seperti hotel atau penginapan pada umumnya. Ia berupa pondok-pondok kecil yang terpisah satu sama lain. Bisa kau bayangkan betapa angkernya tempat itu di malam hari. Belum lagi antar pengunjung, berada di pondok yang berlainan. Jadi, kau hanya tinggal sendirian dalam bangunan itu. Sedangkan bangunan itu terdiri dari satu kamar tidur, kamar mandi, dapur dan ruang tamu, walaupun ada beberapa tipe yang menyediakan dua kamar. Sedangkan resepsionisnya sendiri, bertempat di pondok khusus paling ujung dekat dengan jalan raya. Walaupun disebut jalan raya, tidak berarti seperti jalan raya disini. Karena tempat itu adalah daerah perbukitan, yang tiap hari, hanya beberapa kendaraan saja yang lewat."
"Nah, Eka ini, adalah anak kedua dari pasangan Cahyo Pradana, seorang pimpinan  perusahaan Agra Mitra yang dulu bergerak di bidang properti dan istrinya, Marni Harda, seorang disrtibutor baju-baju remaja daerah timur Surabaya hingga Jember. Kakaknya Hendra Pradana adalah seorang karyawan swasta dan menjalankan beberapa bisnis.
"Kasus ini bermula saat Eka menginap di Graha Indah pada tanggal 11 September 2013. Resepsionis tempat itu, Ny. Rahma, mengatakan bahwa Eka tiba disana jam 9.00 pagi dan berencana menginap selama tiga hari. Ia menyewa pondok nomor 13. Agus dan temannya Reza, petugas kebersihan tempat itu, tiap pagi bertugas membersihkan semua pondok di Graha indah. Mereka sependapat bahwa di hari kedua Eka menginap, yaitu tanggal 12,  tepatnya jam 8.00 pagi, Eka masih membukakan pintu untuk mereka, ketika mereka hendak membersihkan pondok tersebut. Namun  keesokan harinya tanggal 13, Agus hendak melakukan tugasnya, tapi tidak ada siapapun yang membukakan pintu. Agus pikir tamunya sedang tidur, jadi Agus melewati pondok itu. Ia kembali pada jam 10.00, namun tetap tak ada yang membukakan pintu. Agus melaporkan hal tersebut kepada Ny. Rahma. Tapi pada awalnya, Ny. Rahma menganggap tamunya mungkin tidak mau diganggu. Nah, baru ketika malam hari, Ny. Rahma curiga karena lampu pondok tersebut tetap dalam keadaan mati. Jadi dia bersama Agus memeriksa dan memencet bel pintu depan berkali-kali. Karena tidak ada jawaban, maka Ny. Rahma membuka pintu pondok tersebut dengan kunci cadangan, dan menemukan Eka terlentang tak bernyawa di lantai dapurnya. Ia lalu menghubungi nomor darurat."
"Bagaimana kondisi mayat korban?"
"Tidak ada bekas penganiayaan. Hasil otopsi menunjukkan adanya jenis racun pada organ dalam korban."
"Apa ada temannya yang berkunjung sebelum kematiannya?"
"Tidak ada. Diperkirakan Eka meninggal tanggal 13 September jam 7.00 pagi. Di atas meja dapur terdapat segelas kopi yang positif mengandung racun. Polisi setempat sudah memeriksa tempat itu dan mencari dari mana racun itu berasal, namun tidak menemukan apa-apa. Saluran air, peralatan dapur seperti sendok dan gelas, serta barang-barang milik korban sudah diperiksa, namun tidak ada hasil. Tidak ada orang masuk ke tempat itu secara paksa. Polisi sudah memeriksa semua kemungkinan adanya orang yang masuk ke pondok tersebut, tapi tidak menemukan apa pun. Jendela dan pintu terkunci dari dalam. Tidak ada jejak kaki yang mencurigakan di sekitar pondok tersebut, padahal tanah disana basah karena hujan. Intinya Eka sendirian selama tinggal di penginapan tersebut."
"Lalu apa kesimpulan polisi?"
"Ada yang mengatakan bunuh diri. Namun dalam laporan yang aku terima kemarin, tertulis keracunan. Jadi itu murni kecelakaan. Penyelidikan kasus ini sebenarnya sudah selesai. Tapi pihak keluarga korban memberikan informasi baru dan ingin pengusutan ulang, serta meminta ditangani penyidik gabungan dari Surabaya. Karena kasus ini di anggap spele, aku ditugaskan untuk melakukan pengusutan kasus tersebut. Sebenarnya banyak rekan-rekanku yakin bahwa tidak akan ada perkembangan baru dalam kasus ini, tapi aku tetap akan melakukan tugasku sebaik mungkin."
"Lalu kapan kau akan berangkat?"
"Malam ini, jika kau tidak sibuk."
"Aku?"
"Iya, aku kesana sendirian, makanya aku ingin kau ikut bersamaku. Bukankah ini juga bisa menjadi bahan tulisanmu untuk surat kabar?"
"Memang," kataku. "Tapi aku sedang mengerjakan pemberitaan lain, dan..."
"Jadi, kau tidak bisa ikut?" Wajah Jenny berubah sedih.
Aku diam sebentar. Menghela nafas.
"Baiklah, aku akan menemanimu."
Jenny tampak sangat senang dengan jawabanku.
***
Sesudah makan malam, kami berangkat dengan kereta api kelas ekonomi. Bagiku itu nyaman. Sepanjang perjalanan Jenny banyak bercanda dan bercerita tentang hal-hal lucu. Aku hanya menjadi pendengar. Sekitar jam 23.00 kami tiba di stasiun kota tujuan kami dan menginap disana semalam. Baru pada pagi hari kami sarapan dan berangkat menuju Graha Indah.
Graha indah, seperti yang dijelaskan Jenny, merupakan bangunan-bangunan kecil terpisah yang berjajar hampir mengelilingi sebuah danau kecil. Di sebelah utara terdapat pegunungan yang menjulang tinggi, dan menambah ke indahan tempat itu.
Kami langsung menemui Ny. Rahma, sang Resepsionis. Setelah menanyakan beberapa hal, Jenny dan aku diantar ke pondok tempat terjadinya tragedi itu.
Pondok itu sama persis seperti bangunan yang lain. Bangunannya kecil dan sederhana. Dindingnya terbuat dari beton berpola susunan bata merah. Atapnya rendah berwana abu-abu. Ada teras kecil di depan menghadap danau. Aku bisa melihat sisi sebelah kiri adalah kamar tidur, itu karena jendela yang besar dan sisi bangunannya agak menjorok ke depan. Sisi yang lain terdapat pintu masuk. Sebuah garis polisi masih melilit pintu itu.
Jenny melepas garis polisi itu kemudian masuk ke dalam pondok. Aku menyusulnya, kemudian Ny. Rahma paling belakang.
Sebenarnya itu satu ruangan, antara ruang tamu dan dapur tidak ada pemisah, hanya ruangan yang didesain sedemikian rupa hingga berbentuk huruf L. Seandainya gorden jendela depan sedang terbuka, aku yakin orang bisa melihat mayat korban yang terkapar di sisi ruangan dapur dekat meja. Sebuah siluet berbentuk tubuh manusia tergambar disana.
Jenny berjongkok beberapa lama, memperhatikan seluet itu. Ia berjalan mengitari dapur. Meja dapur, tempat masak, kursi dan laci dapur di periksanya. Jenny menoleh ke pojok ruangan dan berjalan menuju sebuah tempat sampah. Ia membuka tutupnya dan menoleh ke arah Ny. Rahma.
"Apa tidak ada yang berubah dari TKP ini sejak anda menemukan mayat korban, Nyonya?"
"Saya rasa tidak ada, Nona. Kecuali kursi itu." Ny. Rahma menunjuk salah satu kursi makan.
"Bagaimana seharusnya?"
"Kursi itu agak menjorok keluar tepat sejajar dengan kaki korban."
"Begitu, jadi maksud anda, korban sedang duduk di kursi ini dan terjatuh setelah minum kopi beracun?"
"Sepertinya begitu."
"Itu tidak begitu penting, polisi sebelumnya sudah pasti tahu hal itu."
Jenny mengeluarkan isi tempat sampah itu satu persatu. Isinnya tidak banyak karena pada tanggal 12, tempat ini sudah dibersihkan oleh Agus. Isinya dua bungkus snack, lima bungkus mie instan, dan empat bungkus kopi instan. Semua benda tersebut di tata rapi di atas meja.
Tiba-tiba kami dikejutkan oleh langkah kaki dari luar. Seorang pria setengah baya berjaket kulit memasuki ruangan. Pria itu pasti seorang polisi. Aku menebaknya dari penampilannya, sepatu hitam mengkilat, celana yang rapi dan potongan rambutnya.
"Selamat pagi," sapanya kepada kami. Dia memperhatikan kami bergantian, lalu menyalamiku, Jenny dan Ny. Rahma.
"Maaf saya terlambat," katanya sambil tersenyum malu kepada Jenny. "Anda pasti ..."
"Jenny ..." kata Jenny.
"Ah, iya maaf karena saya tidak diberitahu sebelumnya."
"Dan anda pasti Pak Hasan."
"Iya, benar. Saya yang menangani kasus ini sebelumnya."
"Saya sudah mempelajari laporan anda, Pak."
"Terimakasih. Lalu apa ada yang bisa saya bantu?"
Aku kira Jenny akan menggeleng, ternyata aku salah.
"Iya, bisakah anda kesini?" Jenny berjalan menuju meja tempat sampah-sampah itu ditata. "Saya yakin anda sudah memeriksanya. Bisakah anda mengingat-ingat bungkus apa yang paling atas terletak di dalam tempat sampah?"
"Apakah itu perlu, Bu? Saya hanya memeriksa isinya, namun tidak menemukan apa-apa."
"Bagi saya sekarang, bungkusnya lebih penting," kata Jenny.
"Baiklah, kalau begitu. Sepertinya dua buah bungkus kopi, berada paling atas. Lalu di bawahnya bungkus mie, lalu snack ini, kemuadian saya lupa yang mana urutannya."
"Tidak masalah. Karena jika di urut dari bawah maka seperti ini, mie, snack, mie, kopi, kopi, mie, snack, mie, mie, kopi, kopi."
"Saya tidak mengerti bagaimana anda mengurutkannya dan kenapa ini begitu penting? Padahal saya yakin ini kecelakaan."
"Soal urutan bungkus makanan ini adalah jadwal makan. Korban tiba disini jam 9.00 artinya korban sudah sarapan sebelum sampai disini. Hari itu tanggal 11, dia makan siang dengan mie, lalu snack, dan malam hari ia makan mie lalu ditutup dengan kopi. Besoknya tanggal 12 pagi hari, ia minum kopi sebelum sarapan mie, lalu makan snack karena umumnya orang ngemil pada jam 8.00 sampai jam 10.00 pagi. Lalu korban makan siang dengan mie, makan malam dengan mie, lalu minum kopi. Baru pada tangga 13 pagi hari, ia minum kopi beracun itu lalu meninggal. Jadi menurut anda, dua bungkus kopi yang manakah yang paling atas?"
"Wah, saya menyerah kalau hal itu."
Jenny tersenyum. "Tentu saja dua yang ini," jelas Jenny dengan tegas.
"Bagaimana anda begitu yakin?"
"Karena dua yang lain ada cipratan saos dan bumbu mie. Itu artinya bungkus kopi itu berada di bawah bungkus mie. Sedangkan dua bungkus kopi yang ini, tidak sama sekali. Sekarang masalahnya, di antara dua ini, yang mana yang mengandung racun? Tidak ada sisa bubuk kopi sama sekali di kedua bungkus ini, yang membuat kita kesulitan menentukan yang mana kopi terakhir."
Jenny membawa dua bungkus kopi itu ke jendela. Gorden dibuka dengan lebar. Cahaya matahari menerobos masuk ke ruang dapur. Jenny mengeluarkan kaca pembesarnya lalu mengamati dua bungkus kopi itu dengan seksama. Tiba-tiba ia terlonjak dan menatap kami dengan ekspresi mengejutkan. Kami sontak ikut terkejut.
"Ada apa?"
"Pak Hasan, maaf sebelumnya, karena menurut saya ini bukan kasus keracunan biasa, melainkan pembunuhan."
Kami semua terkejut. Aku sendiri menjadi merinding mendengar kesimpulam Jenny.
"Sini, perhatikan!" katanya. "Jika anda jeli, anda akan melihat lubang kecil tak kasat di salah satu sisi bungkus kopi ini."
Kami membungkuk memperhatikan. Memang ada lubang kecil di bungkus kopi itu seperti yang dikatakan Jenny.
"Maaf, Bu. Saya belum mengerti maksud anda dan bagaimana anda berkesimpulan demikian? Padahal saya pastikan, korban sendirian di pondok ini dari tanggal 11 sampai tanggal 13 September."
"Pembunuhnya tidak perlu ke tempat ini. Ia hanya cukup menyutikkan serbuk racun ke dalam bungkus kopi ini."
Aku, demikian juga dengan Pak Hasan dan Ny. Rahma, terkesiap mendengar penjelasan Jenny.
"Bungkus kopi ini masih bagus. Kemungkinan baru di beli untuk bekalnya ke sini. Untunglah kebiasaan korban yang rapi, termasuk cara ia membuka bungkus kopi ini, telah membatu kita untuk menemukan lubang kecil ini. Pak Hasan, lubang kecil ini, mengubah semua arah penyelidikan kita secara keseluruhan."
***
"Jika ini kasus pembunuhan, lalu siapakah tersangkanya?"
"Tentu orang yang mengenal korban, keluarga, teman, tetangga dan sebagainya. Tapi kita akan fokus pada orang yang bersama korban sehari sebelum tanggal 11. Dan untuk mencari informasi itu saya butuh bantuan anda, Pak Hasan."
"Serahkan semuanya pada saya," kata Pak Hasan.
Kami berpisah dengan Pak Hasan.
Jenny berdiri sambil melihat jamnya. Ia tampak sibuk menelpon seseorang. Lama aku menunggunya, hingga akhirnya dia menghampiriku.
"Masih banyak waktu," ujarnya. "kita akan naik taxi untuk berkeliling kota. Ini akan menyenangkan."
"Kau serius menangani kasus ini?" tanyaku.
Jenny tertawa.
"Tentu saja. Langkah berikutnya sangat mudah untuk menentukan siapa pembunuhnya."
"Tapi, kau sama sekali belum menemui keluarga atau teman korban, kan?"
"Iya. Itu langkah terakhir setelah kita tahu siapa pembunuhnya."
Aku masih tidak mengerti bagaimana caranya Jenny bisa menemukan satu orang tersangka di tengah jutaan orang di kota ini? Tapi meski demikian, aku mengikuti kemauannya saja, dan berharap dia benar.
Satu jam kemudian taxy yang kami pesan datang. Kami langsung menuju sebuah bangunan di pusat kota. Bangunan itu adalah sederet toko-toko besar yang menjual banyak barang. Kami bergegas masuk. Dan menuju lantai atas. Saat kami memasuki ruang atas, tiba-tiba tercium bau menyengat dan tidak nyaman.
"Tempat apa ini?" tanyaku sambil menutup hidung.
"Ini adalah toko bahan kimia. Semua barang disini tidak dijual secara bebas melainkan melalui pengawasan dan izin seorang ahli."
"Terus kenapa kita kesini?"
Karena dari sinilah pembunuhnya membeli racun itu."
"Darimana kau tahu?"
"Dari temanku, tadi aku menghubunginya. Di kota ini, hanya  toko ini yang menjual bahan-bahan kimia seperti racun jenis yang digunakan membunuh Eka Pradana."
Kami menemui seseorang disana. Seorang perempuan berpakaian seragam perusahaan tersebut. Rambutnya panjang dan di ikat. Usianya masih muda, mungkin 30 tahunan.
Jenny menunjukkan lecananya. "Kami mencari informasi pembeli bahan ini pada hari sebelum tanggal 11 September atau seminggu sebelumnya." Jenny menunjukkan selembar kertas pada wanita itu. Wanita itu melihat catatan di kertas tersebut.
"Maaf, kami merahasiakan identitas pelanggan kami. Kami tidak bisa membantu," jawab kasir itu.
"Tidak jika ini berhubungan dengan kasus pembunuhan. Atau hubungi atasanmu dan katakan maksud kedatangan kami."
Wanita itu menghubungi atasannya melalu telepon internal. Setelah berbicara sebentar, ia menutupnya.
Lalu mulai sibuk mencari sesuatu di komputernya.
"Ada tiga orang," katanya pada akhirnya.
"Siapa saja?" Jenny mengeluarkan buku catatannya.
"Dr. Handoko, Dr. Gerry F. Syah, dan Prof. Ali Muksi. Alamat dan nomor kontaknya anda bisa lihat sendiri disini." Wanita itu menunjukkan daftar tamu. Sesudah mencatatnya, Jenny dan aku meninggalkan tempat itu. Lalu, Ia menghubungi Pak Hasan dan menanyakan beberapa hal.
Sesudah selesai ia menghampiriku.
"Bagaimana?" kataku.
"Nama tersangka kita adalah Naila Puteri. Dia adalah mantan pacar korban, dan dua orang teman korban bernama Angga Setiawan dan Cipto Hadi. Mereka lah yang sempat berada bersama korban sehari atau dua hari sebelum korban berangkat ke Graha Indah. Salah satu dari mereka pasti adalah pelakunya. Tapi kita perlu memastikan siapa yang memiliki hubungan dengan dokter-dokter dan profesor ini," kata Jenny sambil menyelipkan buku catatannya ke dalam tas.
Saat kami berada di dalam taxy, Jenny menunjukkan buku catatannya kembali.
"Eddo, menurutmu siapakah yang paling tepat kita kunjungi pertama kali?" tanya Jenny kepadaku. "Hanya tebakan saja," lanjutnya, "Agar kerja kita lebih efisien. Aku perlu menjelaskan pekerjaan mereka dulu, mungkin itu akan membantumu. Dr. Handoko adalah seorang ahli psikologi dan alamatnya di Jl. Hayam Wuruk no. 46. Dr. Gerry adalah dokter hewan dan ahli botani, bekerja di lembaga penelitian obat-obatan, tempat tinggalnya di Jl. Merdeka no. 124. Dan yang terakhir Prof. Ali Muksi. Dia adalah seorang dosen di universitas ternama disini. Ia ahli di bidang kimia."
"Menurutku yang terakhir," jawabku singkat.
"Iya, memang segalanya mungkin. Tapi kita akan mengunjungi Dr. Handoko terlebih dahulu."
"Kenapa minta pendapatku jika kau punya pendapat sendiri?"
"Oh, aku hanya memastikan apa jalan pikiranmu sama denganku."
"Kalau begitu apa alasanmu mengunjungi Dr. Handoko terlebih dahulu?"
"Sederhana saja. Hanya dia yang agak jauh dari bidang ini. Dia ahli psikologi tp buat apa gerangan racun itu? Kita akan mengetahuinya segera."
Begitu turun dari taxy, kami berjalan beberapa meter menuju rumah Dr. Handoko. Dr. Handoko adalah orang yang ramah. Ia menyalami dan mempersilahkan kami masuk. Perawakannya sedang. Wajahnya tampan dan berkumis tebal. Sedangkan rumah itu sendiri hanya rumah sederhana. Halamannya dipenuhi rumput hijau namun tetap indah.
"Kami mohon maaf mengganggu, Dokter. Maksud tujuan kami adalah ini," kata Jenny sambil menyuguhkan buku bertulis nama sebuah racun.
Dokter itu melihat sekilas.
"Itu adalah racun untuk hewan hama, seperti tikus dan babi hutan, hanya saja dosisnya jauh lebih tinggi," kata sang dokter.
"Bukan itu maksud saya, Dokter. Satu minggu yang lalu anda membeli racun ini untuk apa?"
Sang dokter mengeryitkan keningnya.
"Kenapa anda bertanya demikian?"
"Karena anda sama sekali bukan ahli di bidang kimia, Dokter. Alangkah beruntungnya saya jika anda mau berterus terang."
"Saya tidak mengerti tujuan anda sebenarnya datang kesini tapi baiklah akan saya beritahu. Salah seorang pasienku, mengeluh karena banyak tikus di rumahnya. Ia meminta tolong padaku untuk membelikan racun itu."
"Siapa namanya?"
"Naila Puteri, dia adalah pasienku. Dia sering depresi dan kadang bertindak sedikit nekat bila sedang kumat. Secara keseluruhan dia gadis yang normal hanya saja emosinya sangat labil."
"Baiklah, terimakasih, Dokter. Informasi anda sudah cukup bagi kami. Kami mohon diri dulu, sekali lagi terimakasih."
"Nah, begini kan lebih efisien?" Kata Jenny ketika kami sampai di halaman. "Sekarang kita tidak perlu mengunjung Dr. Gerry atau pun Prof. Ali Muksi karena kita sudah menemukan mata rantainya. Hal terakhir bagi kita adalah mengintrogasi satu-satunya tersangka, yaitu Naila."
Jam 16.00, kami berdua menemui Pak Hasan kembali. Pak Hasan bercerita panjang lebar tentang penyelidikannya. Walaupun pada akhirnya dia tidak dapat menentukan siapa pelakunya. Maka giliran Jenny menceritakan penyelidikannya. Pak Hasan tidak percaya begitu mudahnya melakukan penyelidikan semacam itu, tapi hasilnya sangat efektif.
Tak lama berselang kami langsung menuju rumah tersangka. Namun hasilnya nihil. Naila sudah pergi keluar negeri satu hari setelah keluarga korban meminta pengusutan ulang kasus ini. Jenny dan Pak Hasan sangat kecewa. "Aku tidak menduga yang satu hal ini," kata Jenny. "Aku terlalu lamban."
"Apa? Anda menyelesaikan kasus ini dalam sehari dan masih bilang lamban?"
"Ya, karena kita telah gagal menangkap pelaku kejahatan ini."
"Tapi setidaknya kau sudah berusaha," kataku.
Kami kembali ke Surabaya ke esokan harinya. Pengejaran terhadap Naila Puteri dilakukan oleh tim penyidik lain. Kami tidak mendengar kabar apa pun terkait pengejaran itu di minggu pertama. Baru setelah dua bulan berlalu kami mendengar kabar bahwa Naila Puteri berhasil di tangkap di Swizz dengan nama baru. Kabarnya motif pembunuhan itu adalah kekesalan tersangka kepada korban yang enggan menikahinya, padahal hubungan mereka sudah sangat dekat.

Wednesday 31 August 2016

Detektif Jen : Misteri di Tengah Samudera

CERPEN DETEKTIF JEN : Kalau melihat-lihat catatanku kembali mungkin kisah ini yang paling cocok aku publikasikan saat ini.
Kejadiannya sudah beberapa tahun yang lalu tepatnya di awal 2010. Saat itu aku dan pacarku Jenny, sedang melakukan perjalanan laut menuju Kalimantan.
Jennu berparas oriental dengan mata agak sipit penuh selidik. Rambutnya sebahu membingkai wajahnya yang oval. Secara keseluruhan ia adalah wanita yang cantik dan lucu. Tingkahnya kadang kekanak-kanakan dan polos. Cerdas jelas! Suka dengan cerita detektif dan misteri, baik berupa film atau buku, bahkan sebenarnya dia sangat maniak.
Walaupun sudah menjadi pacarku, sebenarnya hubungan kami sedikit kaku dan malu-malu untuk saling mengungkapkan rasa. Aku menjalani hubungan ini dengan sedikit menutupi perasaanku, karena aku tahu Jenny adalah wanita yang juga pandai menyembunyikan perasaan cintanya, sedikit cuek namun manja dan penyayang. Aku sudah memahami karakternya meski tanpa aku paksakan. Dia memang cocok bagiku yang tipe pendiam.
Aku tidak menjelaskan tujuan kami pergi ke pulau Kalimantan karena beberapa pertimbangan. Aku harap ini tidak mengurangi minat pembaca. Mungkin suatu hari nanti aku bisa menceritakan hal-hal yang terjadi pada kami sebelum akhirnya kami terpaksa meninggalkan pulau Jawa.
Perjalanan itu merupakan perjalanan laut pertama kali bagi kami. Namun pengalamannya sungguh tidak terlupakan.
Hari pertama di bulan Agustus kami sedang duduk dalam kabin kami. Kabin itu sempit. Ada dua buah tempat tidur bertingkat sebelah kanan pintu, dan kursi kecil di sisi yang lain.
Cuaca di luar sedang tidak bersahabat karena hujan dan angin di bulan Agustus. Jenny duduk tepekur sambil menaikkan kakinya ke tempat tidur. Sedangkan aku bersandar di kursi sambil menatap Jenny. Dia menyeruput teh panas dengan perlahan.
"Bagaimana? Sudah mendingan?" tanyaku sedikit khawatir.
"Aku tidak tahu bahwa aku akan mabuk laut, terimaksih Eddo," katanya.
"Kau akan mendingan setelah menghabiskan tehmu," ujarku lagi. Aku berusaha untuk menenangkannya.
Kami diam sebentar...
Jenny kembali menyeruput tehnya. Aku berdiri menghampirinya dan membelai rambutnya.
"Tubuhmu akan terbiasa dengan gelombang laut," tambahku. "Aku akan keluar sebentar. Kau butuh makan. Aku juga sudah merasa agak lapar."
Jari tanganku bergerak turun dan menyentuh pipinya dengan lembut. "Tunggu sebentar," senyumku. Ia membalas tersenyum sambil mengangguk.
Aku membuka pintu kabin. Serentak angin mengeroyok tubuhku seakan membantingku ke dinding. Aku menyipitkan mata untuk mencari arah pandangku. Langit begitu gelap dengan awan pekat. Hujan sesekali menerpa wajahku. Aku mulai melangkah perlahan menelusuri koridor. Tanganku meraba-raba dinding koridor, berusaha berpegangan untuk menjaga keseimbangan.
Aku sempat melihat gulungan ombak di tengah laut saat kilat menyambar. Semakin lama gelombang semakin besar. Perlahan, ombak itu bergulung-gulung dan tiba-tiba terdengar suara debuman keras menghantam kapal kami. Seketika itu juga kapal kami bergoyang, terombang-ambing tak berdaya.
Aku mulai sedikit takut.
Lama aku menyusuri koridor yang gelap, sampai tiba di kantin kapal. Beberapa orang tampak tenang namun terlihat menggigil, duduk di kursi-kursi kayu. Aku menghampiri orang di belakang meja kasir.
"Bisakah aku pesan makanan?" tanyaku.
Kasir itu bertubuh kurus dan berpostur sedang. Wajahnya pucat dan memiliki kantung mata besar. Bibirnya tebal dan gemetar karena dingin.
"Tentu!" jawabnya sambil menggosok-gosok tangannya. "Mau pesan apa?" Dia balik bertanya.
"Rawon, sop atau bakso. Terserah," kataku. "Yang penting berkuah dan panas," lanjutku segera.
Orang itu segera pergi ke belakang. Aku pun memutar badanku dan mencari tempat duduk. Aku naikkan leher jaketku hingga pipi. Angin malam itu sungguh kencang dan dingin. Aku memasukkan tangan ke dalam saku dan duduk sambil melamun.
Beberapa menit kemudian pesananku selesai. Aku segera kembali menemui Jenny di kabin.
Aku dapati dia sedang tidur dan tampak lemas. Aku masuk dengan perlahan dan segera menutup pintu. Aku tidak mau angin malam mengganggu tidurnya. Toh, akhirnya aku terpaksa membangunkannya.
"Jen," panggilku sambil memegang keningnya. Aku tau dia tidak tidur pulas karena mabuk laut. Seketika Jenny membuka matanya. Ia menyipitkan pandangannya padaku.
"Makanlah agar kau mendingan," pintaku padanya.
Reaksinya hanya menutup matanya kembali dan tidak peduli denganku. Aku menghela nafas panjang. Karena aku mengerti dia sedang tak enak makan. Aku pun tak memaksa.
Aku duduk di kursi dan makan sop milikku dengan perlahan. Aku sebenarnya tak begitu berselera. Namun aku tetap berusaha menikmatinya. Suap demi suap aku lahap sambil sesekali melamun atau memikirkan Jenny yang terkapar di depanku.
Malam itu berlalu tanpa sepotong makanan pun masuk ke dalam perut Jenny. Pagi hari ketika aku bangun aku lihat Jenny sedang makan sop tadi malam. Sungguh betapa senangnya aku menyaksikan pemandangan itu. Spontan aku tersenyum walau kantuk masih terasa di mataku.
"Bagaimana keadaanmu, Jen?"
"Aku sudah mendingan. Jangan terlalu khawatir," ujarnya sedikit mengejek. "Sedikit pusing tapi perutku jauh lebih parah. Lapar banget!!!" ujarnya setengah bercanda.
Aku tertawa sedikit. "Syukurlah," kataku.
Kapal itu tampak sepi, tidak banyak penumpangnya, mungkin karena bulan Agustus. Cuaca biasanya berangin di bulan-bulan akhir tahun. Meski demikian, pagi itu cuaca cukup terang walaupun masih sangat dingin. Hujan semalam memberi rasa segar di udara. Suasana pagi itu lebih baik dari pada tadi malam. Setidaknya hingga saat itu. Keadaan Jenny mulai membaik. Kami sedikit bersantai duduk di luar kabin sambil menikmati pemandangan yang cerah. Segelas kopi hangat kugenggam dengan erat di jariku. Sedangkan Jenny duduk bersandar di bahuku. Tangannya memeluk lengan kiriku. Jaket tebal menyelimuti tubuhnya, membuatnya nyaman. Senyumnya indah terukir di wajahnya meski matanya masih terpejam. Bagiku itu adalah pemandangan terindah saat itu.
Matahari mulai tampak, terasa hangat menyentuh wajahku yang sedikit kusam. Sesekali aku memalingkan wajahku karena silaunya.
Tak lama dari itu, sayup-sayup aku mendengar orang berteriak. Rasanya agak jauh di belakang kapal. Beberapa orang di dekatku mulai berdiri dan berlari menuju suara teriakan itu. Aku dan Jenny pun mengikuti di belakang mereka.
Sungguh mengejutkan apa yang kami lihat di ujung koridor. Sesosok laki-laki kurus dan jangkung terbujur kaku di lantai. Di dadanya, tepat di bagian jantung, tertancap sebuah pisau kecil. Darah merembes di kaosnya yang cerah hingga lantai kapal. Aku tidak tahu pasti orang itu masih hidup atau sudah mati. Beberapa orang sedang memeriksa nafas dan nadinya. Namun dari reaksi mereka tampaknya korban sudah meninggal. Mereka saling beradu pandang kebingungan.
Jenny langsung melepaskan genggaman tanganku dan mendekati mayat itu. Ia membungkuk dan memperhatikan bagian dada korban. Ia memeriksa semua saku korban dan menemukan dompetnya. Isinya adalah kartu identitas dan uang 10 lembar 100 ribuan, dan beberapa uang receh. Sebentar kemudian ia berdiri sambil melihat jam tangannya.
"Siapa yang pertama kali melihatnya?" tanyanya pada semua orang di sana. Aku agak khawatir dengan tingkahnya. Jelas ini tindak kejahatan. Aku takut ini malah membahayakan Jenny.
Seorang gadis muda mendekat. Ia masih menagis karena shock.
"Aku," jawab gadis itu.
"Apa kau mengenal pria ini?" tanya Jenny layaknya seorang detektif.
Karena agak takut, aku mendekatinya dan menarik lengannya.
"Jen, berhentilah! Kita laporkan saja pada kapten kapal," kataku.
Namun Jenny tetap bersikeras ingin mendengar jawaban gadis itu.
"Ya, dia adalah temanku. Namanya Dodit. Kami semua berlima, Dika, Siska, Robet dan aku, sheila," jelas gadis bernama sheila itu sambil menunjuk orang-orang yang ia sebutkan namanya. Semua orang yang ditunjuk Sheila masih muda sekitar dua puluh tahunan. Mereka tampak shock dan ketakutan.
Sheila berwajah cantik, berambut sebahu. Penampilannya seperti anak kuliahan. Sepertinya dia adalah gadis yang cerdas.
Dika bertubuh sedang dan tampan. Dia seperti tokoh utama dalam film. Penampilannya keren dengan jaket kulit berwarna krem yang ia pakai. Leher jaketnya menutup hingga bawah telinga.
Siska berambut pendek. Sangat menarik. Wajahnya unik dan manis. Tatapannya penuh kejelian dan sepertinya dia orang yang teliti. Itu pendapatku ketika pertama kali melihatnya.
Sedangkan Robert berambut ikal dan penampilannya agak awut-awutan. Ia satu-satunya yang hanya mengenakan kaos oblong. Walaupun cuaca pagi itu cukup dingin.
Korban sendiri bernama Dodit. Fisiknya sudah kujelaskan tadi. Namun dari bajunya aku yakin dia orang yang kuat dan sombong. Itu karena kaos cerah tak berlengan yang di kenakannya serta jeans-nya yang berlubang di bagian lutut, layaknya seorang preman. Wajahnya mengerikan dan penuh ketakutan.
"Dengar, Jen. Lebih baik kita tidak ikut campur. Ini adalah tugas orang lain. Bukan kamu, yang hanya karena sangat terobsesi oleh novel-novel misteri, lalu bisa menangani kasus kejahatan asli seperti ini," ujarku mulai sedikit jengkel. Aku sambil menyeret lengannya ke samping dan menjauhi mayat korban.
"Tolong tutupi mayat korban," ujar Jenny pada Sheila. "Salah seorang kalian harus melapor ke kapten kapal sekarang. Cepatlah!" perintah Jenny.
Selain kami berenam ada juga dua orang laki-laki tua dan seorang perempuan setengah baya yang tadi duduk di dekat aku dan Jenny. Merekalah yang pertama berlari menuju arah teriakan Sheila. Aku tidak perlu merinci fisik mereka karena jelas mereka bukan tersangka. Dan ketika kami tiba di TKP ke lima tersangka yaitu teman korban sendiri, sudah berada di tempat kejadian sedang memeriksa korban.
Dengan tanpa bertanya lagi Robet segera melapor ke kapten. Tak lama kemudian kapten kapal beserta beberapa kru datang melihat mayat itu. Ia berjongkok dekat kepala korban. Kain penutup dibuka sedikit oleh sang kapten. Terdengar seruan ngeri dari para kru kapal.
Lalu sang kapten segera menutupnya kembali.
"Pindahkan mayatnya," perintahnya pada anak buahnya. Sebagian dari mereka kembali membawa tandu. Sebentar kemudian mayat itu sudah dipindahkan.
Kapten menanyakan beberapa hal pada kami. Siska dan Dika tidak begitu banyak bicara. Hanya Robet dan Sheila yang aktif menjawab.
Selang beberapa saat, Jenny kembali bertingkah. Mungkin itu pertanda baik karena ia sudah tidak mabuk laut lagi. Ia menghampiri sang kapten dan berbicara pelan.
Aku menebak sang kapten begitu antusias dan setuju dengan yang disampaikan Jenny. Aku juga melihat Jenny memperlihatkan dompet korban kepada kapten. Kapten itu memeriksanya sebentar lalu memperhatikan ke empat orang tersangka satu per satu. Wajah shock masih terlihat di mata mereka.
"Aku harap masing-masing dari kalian bisa memberikan kesaksian yang sebenarnya," kata sang kapten dengan nada tegas dan sedikit ditekan. "Mengingat di kapal ini tidak ada petugas yang berwajib yang bisa menangani kasus ini. Kalian akan memberikan keterangan dan akan di amankan di ruang khusus sampai kapal ini berlabuh. Selanjutnya saya akan serahkan kasus ini pada polisi," lanjut sang kapten sambil mengatur nafasnya.
Kapten itu berwajah wibawa. Kumisnya sudah sedikit beruban. Kerutan di dahinya menggambarkan tekadnya sebagai seorang kapten. Bahunya lebar dan berbadan tegap. Bajunya rapi dan sikapnya tegas. Perhatianku sempat teralih padanya beberapa saat. Aku mulai tersadar saat sang kapten mengikuti mereka ke kabin mereka. Maka Aku dan Jenny serta beberapa orang yang lain mengikutinya di belakang. Aku melangkah melewati bekas darah korban namun enggan untuk melihat ke lantai.
"Saya minta agar anda semua yang tidak berkepentingan untuk tidak mengganggu penyelidikan. Silahkan kembali ke kabin masing-masing."
Beberapa dari kami kecewa dan bergegas pergi, namun tidak dengan Jenny. Ia tetap tinggal meski aku memberi isyarat untuk pergi. Akhirnya aku pun terpaksa menemaninya. Kini tinggal aku, Jenny, sang kapten dan dua anak buahnya yang ikut memeriksa kabin ke empat teman korban.
"Sebelah mana kamar kalian?" tanya sang kapten.
"Yang ini," jawab Sheila. Bekas air matanya masih tersisa.
Dika membuka pintu kabin itu dan masuk ke dalam. Kapten dan anak buahnya menyusul. Jenny pun ikut masuk ke dalam kabin itu. Sedangkan aku memilih menunggu di koridor bersama tiga tersangka lain.
Beberapa saat kemudian aku mengintip ke dalam. Kabin itu lebih luas dari pada kabinku dan Jenny. Ada tiga tempat tidur susun. Dua di sebelah kanan, dan satu di sisi yang lain. Sebuah lemari berdiri berhadapan dengan pintu masuk. Hanya itu. Namun tas dan ransel mereka berserakan di lantai dekat tempat tidur masing-masing.
"Dimana tempat tidur korban?" tanya Jenny kepada Dika. Dika menunjuk salah satu tempat tidur sebelah kiri bagian bawah.
"Lalu siapa yang di atasnya?" Lanjut Jenny bertanya.
"Itu tempat tidur Sheila," jawab Dika.
"Dan yang lain?"
Dika berbalik.
"Itu yang bawah sebelah kanan adalah tempat tidurku. Yang atas adalah Siska. Sedangkan yang pojok bawah adalah tempat tidur Robet. Yang di atasnya kosong. Kami hanya berlima."
"Kau ada dimana satu jam yang lalu?" tanya Jenny.
"Kami sedang tidur. Bahkan aku tidak tahu bahwa Dodit keluar dari kabin."
"Tolong panggil semua temanmu," kata sang kapten.
Mereka bertiga masuk ke dalam kabin. Aku dan dua kru kapal ikut masuk ke dalam.
"Bisakah kalian menceritakan kronologis kejadiannya?" tanya sang kapten.
Mereka saling memandang. Kemudian Sheila mulai bicara.
"Kami sebenarnya tidak tahu apa-apa, Pak Kapten!" jawabnya. "Yang saya tahu jam 6.50 tadi pagi saya bangun dan Dodit sudah tidak di tempat tidur. Saya keluar karena mau ke kamar mandi. Kamar mandi ada di ujung koridor sebelah kiri. Selesai dari kamar mandi saya kembali ke kabin. Dodit juga belum datang. Saya pikir dia sedang membeli sarapan. Jadi saya pergi ke koridor sebelah kanan untuk menyusulnya ke kantin. Alangkah terkejutnya saya karena melihat seseorang terlentang tepat di sudut koridor itu. Darah masih mengalir saat itu. Saya tahu itu Dodit karena kaos yang dipakainya. Saya berteriak sekuat tenaga. Hampir saja saya jatuh pingsan seandainya saya tidak segera memalingkan wajah. Lalu teman-teman saya datang menghampiri saya. Dika yang pertama kali dan langsung memeriksa keadaan Dodit..."
"Tunggu, tunggu!" kata Jenny memotong. "Siapa yang pertama kali mendengar jeritan Sheila?"
"Aku," jawab Dika. "Aku membangunkan mereka sesudah mendengar Sheila berteriak."
"Silahkan lanjutkan ceritamu, Sheila," kata Jenny.
"Kemudian Robet juga datang membantu. Saya ditopang oleh Siska yang menyusul kami belakangan. Kami semua panik. Saat itu anda, Nona dan beberapa orang sudah berkerumun bersama kami. Itu saja yang saya tahu."
Jenny dan kapten itu berpikir sejenak.
"Berarti pelakunya adalah orang luar," kata sang kapten.
"Tidak, Kapten!" kata Jenny memotong. "Memang ada kemungkinan seperti itu. Kalau orang lain yang melakukan pembunuhan ini berarti ada motif lain seperti perampokan. Kecuali ada orang lain di kapal ini selain mereka berempat, yang mengenal korban dan memiliki dendam pada korban."
"Apakah anda seorang polisi?" tanya kapten heran.
"Bukan kapten, tapi kakak pria itu adalah seorang detektif polisi." Jenny menunjuk ke arahku. Aku sedikit gerogi karena semua orang menatapku. "Dan saya sering membantu kakaknya." Jenny melanjutkan.
"Jadi bagaimana menurut anda, Nona... siapa?" Kapten hendak memanggil nama Jenny.
"Jenny..." jawab Jenny.
"Nona Jenny? Menurut anda mereka adalah satu-satunya tersangka?"
"Terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan sekarang, Kapten." Jenny kembali menghadap ke empat tersangka.
"Jadi... adakah orang lain di kapal ini yang mengenal korban?"
Mereka beradu pandang. Siska menjawab, "tidak ada, Nona. Kami semua berteman dan ingin melakukan petualangan. Kami berangkat dari Surabaya dan ingin menyeberang ke Kalimantan melalui jalur laut karena lebih menyenangkan."
"Begitu, ya? Jika bukan perampokan, maka pelakunya adalah salah satu dari kalian." Ucapan itu begitu spontan.
Mereka bergumam tidak jelas mendengar penjelasan Jenny. Mereka tampak tidak percaya bahwa salah satu teman mereka adalah seorang pembunuh.
"Sekarang, bisakah aku melihat barang-barang korban?"
"Itu sebelah sana," tunjuk salah satu dari mereka.
Jenny dan kapten mendekat dan memeriksa tas serta ransel korban. Isi tas dan ransel itu tidak ada yang menarik atau pun aneh. Hanya baju-baju dan peralatan camping seperti tenda kecil, senter, peralatan mandi, beberapa majalah traveling dan perlengkapan P3K.
"Apakah korban tidak memiliki handphone?" tanya Jenny.
"Tentu saja ada," jawab Siska.
"Tapi aku tidak menemukannya," kata Jenny sambil memeriksa tempat tidur korban namun tak menemukan apa-apa.
"Kami harus memeriksa barang-barang milik kalian," katanya lagi.
Aku memperkirakan sekitar 20 menit Jenny beserta kru kapal, anak buah sang kapten itu, memeriksa tas ke empat tersangka. Namun mereka tampaknya tidak menemukan benda mencurigakan. Handphone milik korban pun belum ditemukan.
"Nah, bagaimana?" ujar sang kapten.
"Kami tidak menemukan apa-apa," jawab salah seorang kru.
"Periksa juga hp mereka," kata sang kapten.
Lama mereka memeriksa hp ke empat tersangka.
"Bagaimana?"
"Tidak ada, Pak. Semua panggilan, pesan dan lain-lain hanya chat biasa, tidak ada yang mencurigakan."
Kru itu diam sebentar.
"Apa mungkin korban di bunuh karena di rampok lalu hp korban di bawa kabur pelaku?"
"Kalau begitu, harusnya dompet korban juga akan hilang," jawab Jenny tegas. "Sheila, bisakah kau menelpon nomor hp korban?" pinta Jenny.
Sheila tampak sibuk dengan hp-nya beberapa saat.
"Tidak aktif!" katanya.
"Kapan terakhir kalian melihat korban masih hidup?"
"Tadi malam kira-kira jam sepuluh, tepat saat kami mau tidur," jawab Robet.
"Sebenarnya tidak juga," kata Siska. "Aku tadi pagi terbangun dan langsung melihat jam di hp-ku. Saat itu jam 6.30. Dodit masih tidur di tempat tidurnya. Tempat tidurnya, kan berhadapan dengan tempat tidurku. Aku bisa melihat Sheila di tempat tidur atas sedangkan Dodit di bawahnya. Aku tidak bisa melihat Dika yang tidur di bawahku dan Robet yang berada sejajar dengan tempat tidur Dika. Jadi aku tidak tahu mereka berdua ada ditempatnya atau tidak. Aku tidak peduli  lalu sebentar kemudian aku tidur lagi karena cuaca begitu dingin."
"Tentu saja aku masih tidur," jawab Robet ketus.
Jenny berdeham.
"Siska bangun jam 6.30 dan Dodit masih berada di tempat tidurnya," kata Jenny seperti berpikir. "Sedangkan Sheila bangun jam 6.50 dan Dodit sudah tidak ada di tempat tidurnya. Aku sudah mencocokkan jam di hp kalian berdua tadi dan ternyata jam-nya menunjuk angka yang sama. Itu artinya korban dibunuh antara jam 6.30 sampai jam 6.50. Aku tiba di TKP jam 7. Berarti sekitar 10 menit sebelum akhirnya Sheila menemukan korban. Kecuali Sheila sendiri adalah pelakunya pada jam 7."
"Mana mungkin aku?" sanggah Sheila sedikit kaget.
"Aku bukan menuduhmu, Sheila, tapi segala kemungkinan tetap bisa terjadi. Lalu apa kalian tahu milik siapa pisau yang digunakan untuk membunuh korban?"
"Aku yakin itu milik Dodit sendiri. Aku sempat melihat pisau itu tadi. Persis milik Dodit, ia biasa membawa pisau itu tiap kali pergi berpetualang," jawab Dika.
"Dimana ia biasa menyimpannya?"
"Biasanya di dalam ranselnya, bersama peralatan camping-nya."
"Tidak mungkin salah satu dari kami pelakunya. Mungkin orang lain," kata Robet. "Kami semua berteman akrab dengan korban," tambahnya lagi.
"Iya, itu benar," kata Sheila.
"Dan saat kejadian kita semua ada di kabin ini sedang tidur," tambah Dika menguatkan.
"Justru karena kalian sedang tidur, tidak satupun dari kalian memiliki alibi yang kuat," kata Jenny.
"Belum lagi jika ternyata kalian berkomplot," tambah sang kapten.
"Dan setiap kalian sama-sama memiliki kesempatan untuk membunuh korban tanpa sepengatahuan teman yang lain," Jenny menambahkan.
"Dari pada curiga pada kami, mending kalian mencari pembunuhnnya di luar sana. Dia pasti masih memiliki hp milik Dodit," jelas Dika sedikit ngotot.
Aku lihat Jenny menggelengkan kepala sambil tersenyum manis. Ekspresinya begitu khas. Aku tidak pernah melihat wajahnya dengan ekspresi demikian sebelumnya.
"Itu tidak mungkin," katanya. "Aneh kan jadinya, kalau pelakunya adalah orang luar? Dari mana dia mendapat pisau korban? Apa kebetulan saja Dodit sedang membawa pisau lalu ada orang mau merampoknya, merebut pisaunya lalu menikamnya?"
"Mana kami tahu?" kata Dika. "Mungkin saja Dodit sedang membawa pisaunya kemudian dia bertengkar dengan seseorang lalu mengeluarkan pisaunya tapi malah dia sendiri yang tertikam."
"Bagiku tetap aneh jika begitu," jawab Jenny. "Lalu kemana hp korban? Kalau begitu, seharusnya pelaku tinggal melarikan diri. Tidak perlu repot mengambil hp korban dengan maksud menyembunyikannya. Dan alasan yang kuat kenapa hp korban hilang adalah karena di dalam hp itu ada pesan atau panggilan yang akan mengarahkan pada pelaku. Sedangkan si pelaku tinggal menghapus histori pesan dan panggilan pada jam 6.30 hingga jam 6.50 di hp-nya sendiri."
"Kalau begitu kenapa pelaku tidak menghapus histori panggilan dan pesan milik Dodit juga sekalian," tanya Siska.
"Karena dia tidak sempat melakukan itu. Dia harus menyingkirkan bukti secepat mungkin. Apa lagi kalau hp korban di proteksi dengan password, itu butuh waktu lama. Tapi bagaimana pun aku akan memeriksa mayat korban kembali. Dan Kapten, sebaiknya kamar ini dan koridor depan di isolasi sehingga tidak ada orang yang merusak TKP. Ke empat tersangka ini juga harus dipindah ke ruang khusus," kata Jenny.
Sang kapten hanya menyetujui saja apa yang dikatakan Jenny.
***
Jenny membungkuk di depan mayat itu, ketika kami berada di ruang khusus. Ke empat tersangka sudah dipindahkan ke kabin lain dan di awasi oleh salah seorang kru kapal. TKP juga dijaga ketat oleh dua kru kapal. Kini tinggal aku, Jenny dan Kapten berada di ruang menyeramkan itu. Aku sebenarnya sedikit takut melihat mayat, tapi bagi Jenny itu seperti sebuah suntikan semangat. Ia memeriksa tangan, jari dan kuku korban dengan bantuan senter dan kaca pembesar.
Jenny mengambil sapu tangan dan menarik pisau itu secara perlahan.
"Ada dua bekas luka tusukan di jantung korban," katanya.
"Apa artinya?" tanya sang kapten.
"Korban sempat melakukan perlawanan, baru pada tusukan kedua ia terjatuh."
"Benar-benar sadis," kata kapten.
"Pelakunya bertangan kanan dan berlengan kuat. Ia memegang pisaunya secara terbalik. Pasti seorang laki-laki," jelas Jenny.
Kami hanya mengangguk.
Jenny memperhatikan pisau itu menggunakan kaca pembesar dengan seksama. Namun tampaknya dia tak menemukan apa-apa lagi.
Kami sudah selesai memeriksa mayat korban, ketika seorang kru mendatangi kapten.
"Ada seorang anak muda ingin bertemu dengan anda, Kapten. Katanya ini berkaitan dengan kasus pembunuhan itu," kata kru itu.
Sontak aku dan Jenny bergegas mengikuti kapten keluar.
Pemuda itu berpenampilan santai. Rambutnya rapi. Wajahnya pucat dan dari gelagatnya dia sedang shock.
"Bisakah anda melindungi saya jika saya memberi informasi ini," katanya.
"Tentu," jawab kapten. "Apa yang ingin anda sampaikan?"
"Oh, ya Tuhan. Aku melihat pembunuhan itu, Pak Kapten. Bisakah saya meminta air."
Ia duduk di kursi dan meminum air yang diberikan oleh seorang kru.
"Siapa pelakunya, anak muda?" kata sang kapten tidak sabar mendengar jawabannya, sama halnya denganku dan Jenny.
"Saya tidak tahu. Saya sedang duduk dibalik koridor tepat dibalik tempat kejadian itu. Tiba-tiba terdengar suara benturan keras ke lantai tidak seperti bunyi ombak atau bunyi mesin kapal. Lebih mirip sesuatu yang berat jatuh ke lantai. Saya tahu itu brasal dari belakang tempat saya duduk. Jadi saya naik ke atas kursi dan mengintip melalui celah kecil. Alangkah kagetnya saya karena melihat darah di bagian dada seseorang. Saya tidak melihat wajah pelakunya. Tapi dia mengenakan kaos berwarna merah. Saya melihatnya membuang sesuatu ke laut. Penglihatan saya terbatas dan tidak bisa melihat seperti apa tubuhnya. Saya tiba-tiba lemas dan hampir pingsan, Pak. Karena jantung saya memang lemah. Bahkan hingga sekarang jantung saya masih berdebar-debar. Butuh keberanian untuk memberikan keterangan ini. Bahkan, saat ada seorang wanita berteriak pun saya tetap tak berkutik dari tempat saya semula."
"Kira-kira berapa tingginya?" tanya Jenny.
"Saya tidak tahu, Nona. Sudut pandang saya dari atas, jadi sulit mengira-ngira."
"Kau bisa mengukur dengan benda disekitar korban. Cobalah untuk mengingatnya," desak Jenny.
Orang itu diam sebentar dan berpikir.
"Aku ingat, ketika orang itu membuang sesuatu di pinggir kapal, rambutnya menyentuh besi kapal yang seperti ini," jawab orang itu sambil menunjuk besi samping kapal.
Jenny sangat senang. Ia langsung menoleh ke arah kapten.
"Anda punya meteran?" tanya Jenny dengan wajah berbinar-binar. Seorang kru mengambilkan alat yang diminta Jenny. Lalu mereka pergi ke TKP.  Jenny di bantu seorang kru mengukur tinggi besi pembatas yang di maksud.
"172 cm," katanya. "Itu tinggi pembunuhnya. Dan dia mempunyai kaos warna merah seperti yang di jelaskan saksi tadi. Satu hal lagi, dia memiliki bekas luka dibagian lengan kiri. Dan coba kesini sebentar." Jenny mengajak kami ke kabin para tersangka. "Silahkan anda masuk, yang lain tunggu di ujung koridor tempat korban terbunuh," katanya. Seorang kru disuruh menunggu di dalam kabin sedangkan Jenny, kapten, seorang kru dan aku sendiri berada di TKP. "Sekarang coba kau berteriak sekuat tenaga, panggil temanmu di dalam kabin," ujar Jenny.
Kru itu melakukan yang di perintah Jenny. Kami menunggu kru yang di dalam kabin, tapi tak kunjung datang sehingga akhirnya kami menghampirinya. Setelah ditanya ternyata dia tidak mendengar temannya memanggil.
"Nah kapten, bukankah sudah jelas siapa pelakunya?" kata Jenny. "Aku sudah tahu sejak awal tapi bukti yang aku butuhkan belum lengkap, maka aku tidak buru-buru sambil mengikuti kemana petunjuk membawaku."
Rincian dan demonstrasi yang dilakukan Jenny membuatku bingung. Seperti halnya aku, sang kapten dan para kru pun tampaknya juga masih bingung bagamana Jenny mengambil kesimpulan.
"Apa anda yakin?" tanya kapten.
"Ya, sebaiknya anda segera mengamankan pelakunya, Kapten. Ayo kita pergi ke ruang khusus mereka."
Saat kami bertiga masuk ke dalam ruangan, ke empat tersangka bangkit dari posisinya dan berdiri menghampiri kami.
"Bagaimana, Kapten? Anda sudah menemukan pelakunya?" tanya Dika.
"Bukan saya, tapi Nona Jenny sepertinya sudah tahu siapa pelakunya dan kami akan mengamankannya, benar begitu, Nona?"
"Ya, benar. Kasus ini sebenarnya sangat sederhana."
"Lalu siapa pelakunya?" tanya Dika.
"Sebelumnya akan kujelaskan kronologis kejadiannya. Tadi pagi antara jam 6.30 sampai jam 6.50 pelaku bangun dan mengambil pisau kecil di ransel korban lalu membangunkan korban dengan perlahan. Mungkin sebelumnya pelaku sudah meminta korban untuk bertemu di luar kabin melalui sms. Ketika sampai di koridor, mereka bertengkar lalu terjadilah pembunuhan itu.  Korban saat itu membawa hp-nya. Sehingga sesudah membunuhnya, pelaku membuang hp itu ke laut. Seandainya hp itu ada di dalam tas korban,  pasti pelakunya akan membuangnya di kesempatan lain ketika mayat korban di temukan seseorang. Ketika mereka bertengkar, korban sempat melawan dan mencakar lengan pelaku sebelah kiri. Aku melihat ada bekas kulit terkelupas di kuku tangan kanan korban. Seorang saksi walaupun tidak sempat melihat wajah pelaku mengatakan bahwa pelakunya adalah seorang pria berkaos merah, sedang membuang sesuatu ke sisi kapal. Sesuatu itu aku yakin adalah hp korban dan sarung tangan yang dipakainya. Aku tidak bisa melihat bekas sidik jari pada gagang pisau itu padahal gagangnya terbuat dari logam. Itu artinya pelaku memakai sarung tangan, cuaca yang dingin tidak aneh untuk memakai sarung tangan, bukan? Kita tahu tinggi badan pelaku berkat kesaksian orang tadi. Jadi, sekarang kita tahu bahwa pelakunya adalah teman korban, pria dengan tinggi 172 cm memiliki kaos merah yang mungkin sampai sekarang ia tidak sempat menggantinya, dan ada bekas luka cakaran di lengan kirinya. Untuk menutupi bekas luka dan kaos merahnya ia menggunakan jaket dan dia adalah orang yang bangun pertama kali saat mendengar Sheila berteriak. Aku sudah mengujinya. Dia berbohong tentang hal tersebut, karena orang di dalam kabin tidak dapat mendengar teriakan orang lain dari TKP."
Semua orang di dalam ruangan mengerti siapa yang dimaksud Jenny. Mata kami semua menatap Dika. Dika jadi sedikit salah tingkah. Senyumnya tersungging tertahan. Lalu ia tertawa kaku. Kami hanya menatapnya dengan heran.
Ia berhenti tertawa lalu berkata, "itu omong kosong! Kau tidak bisa menuduh orang sembarangan begitu."
Jenny tersenyum santai.
"Bisakah kau lepaskan jaketmu?" katanya.
Pria itu tertunduk. Sesekali pandangannya menengadah ke langit. Perlahan wajahnya berubah dari marah menjadi sedih kemudian air mata mengalir di pipinya. Aku lihat emosinya begitu kuat sampai ia tidak mampu menahannya. Kemudian ia terjatuh berlutut dan menangis tersedu. Ia terus menangis sampai kami yang melihatnya beradu pandang tidak mengerti. Sheila menghampirinya dan mengusap bahunya.
"Sudahlah..." serunya perlahan.
Suasana menjadi hening. Aku melihat air mata Dika menetes di lantai.
"Bajingan itu, sudah melecehkan adikku," Dika akhirnya berbicara. "Sungguh menyakitkan apa yang sudah ia lakukan pada adikku. Aku tidak akan mengampuni orang seperti dia. Aku sudah selesai. Aku sudah menghabisi bajingan itu dan sekarang adikku bisa melanjutkan hidupnya. Perjalanan ini adalah rencanaku dan tujuan sebenarnya adalah menghabisi bajingan itu. Dodit tahu bahwa aku mengincarnya, jadi aku sudah mengirim pesan peringatan melalui sms tadi malam. Ia pasti takut tapi tidak menyangka aku akan menghabisi nyawanya. Rasa bersalahnya membuatnya tidak berdaya kecuali hanya mampu menuruti kemauanku."
Dan begitulah kisah itu berakhir. Dua hari sesudahnya, kami tiba di pelabuhan Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Dika diamankan di kepolisian setempat. Teman-temannya juga ada disana sebagai saksi. Sedangkan aku dan Jenny melanjutkan perjalanan kami. Banyak hal yang kami dapat dari kejadian itu. Terutama bagiku. Mungkin sebaiknya aku menjauhkan Jenny dari segala hal yang berbau kriminal. Walau aku tahu aku tidak dapat mencegahnya.