Monday 5 September 2016

Detektif Jen : Misteri Mayat di Pondok Graha Indah

CERPEN DETEKTIF JEN : Sejak aku baru menegenalnya waktu kuliah, Jenny memang menyukai hal-hal berbau misteri. Novel detektif, cerita horror, pembunuhan, teka-teki, mencari petunjuk dan memecahkan masalah adalah kesehariannya.
Selama enam tahun bersamanya, hampir setiap hari dia memberiku soal teka-teki dan tiap minggu saat bersamaku, dia tidak pernah absen membeli buku cerita misteri dan detektif. Maka tidak kaget jika di kamarnya bertumpuk novel-novel semacam itu. Aku pun akhirnya menyukai buku-buku yang ia baca. Karena setiap aku berkunjung pasti buku-buku itu lah yang menjadi sajianku.
Di waktu senggangku, aku kadang mengajaknya nonton. Tidak sulit ditebak, film-film apa yang ditonton kami. Jika bukan horror, misteri pasti tentang detektif seperti gendre crime dan thriller.
Memang aku mengakui, bakatnya di bidang forensik cukup menonjol, daya ingat yang kuat serta kemampuan analisisnya sangat mumpuni. Memang karakter-karakter seorang detektif fiksi, yang aku baca dari koleksi Jenny, biasanya memiliki daya imaginasi yang tinggi dan tertarik dengan hal-hal detil yang tidak menarik bagi orang lain pada umumnya. Jenny juga memiliki karakter tersebut. Aku pun sempat dibuat kesal karena dia selalu memperhatikan penampilanku, parfum yang aku pakai, sepatu, kerah baju bahkan sampai foot step motorku tidak luput dari perhatiannya.
Setelah belajar banyak hal dari kakakku, akhirnya dia diterima sebagai detektif polisi. Aku pun turut senang, walaupun sedikit khawatir dengan resiko pekerjaannya.
Sudah seminggu aku tidak bertemu dengan Jenny, sejak dia diterima sebagai Reserse di Surabaya. Kadang aku merasa rindu dengan tingkahnya yang konyol, polos dan lucu. Dan yang paling membuatku tidak tahan untuk segera bertemu dengannya adalah ekpresi wajahnya yang malas dan manja ketika aku bangunkan di pagi hari. Dia paling kesal saat di bangunkan di pagi hari, tapi justru paling aku suka.
Tapi dia sudah pindah apartemen. Aku pun agak sibuk akhir-akhir ini. Jadi kami jarang bertemu.
Baru pada hari Sabtu pagi, aku menerima pesan darinya melalui WA. Dia minta bertemu denganku di sebuah restoran. Maka dengan senang hati aku memenuhi permintaannya.
Jenny memberiku pelukan hangat, saat menemuiku. Senyumnya tersungging menghias wajahnya yang oval. Wajah itu khas seperti Jenny yang aku kenal, mata agak sipit yang manja, hidung yang mancung, tatapan yang jeli penuh selidik, semuanya sangat ku hafal. Namun yang berubah adalah potongan rambutnya yang pendek namun elegan. Unik dan terkesan simple.
Hatiku sedikit berdegup. Keringat di keningku mulai menetes. Namun aku berusaha menutupi perasaanku. Aku mengalihkan perhatiannya dengan menggenggam tangannya, lalu mengantarnya ke sebuah tempat duduk di sudut restoran. Ia tersenyum bahagia dan mencubit pipiku pelan.
"Iih, sejak kapan kau punya kumis tipis," serunya gemas.
Aku hanya tertawa pelan sambil berkilah.
***
"Aku akan pergi keluar kota, menangani sebuah kasus," kata Jenny. "Sama sekali bukan kasus berbahaya, hanya pengusutan ulang."
"Kasus apa?"
Jenny mengeluarkan sebuah foto. Foto itu adalah foto setengah badan seorang pemuda tampan berpenampilan casual.
"Entahlah," katanya. "Anak muda ini bernama Eka Pradana. Pekerjaanya sama denganmu tapi dia adalah penulis novel. Dia ditemukan tewas dalam sebuah kamar penginapan Graha Indah. Dia kesana untuk menyelesaikan novel terbarunya. Kau tahu, Graha Indah ini adalah sebuah penginapan yang menghadap ke sebuah danau. Tempat itu adalah tempat sepi. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja tempat itu ramai pengunjung, seperti saat liburan atau akhir pekan. Dan Graha Indah ini tidak seperti hotel atau penginapan pada umumnya. Ia berupa pondok-pondok kecil yang terpisah satu sama lain. Bisa kau bayangkan betapa angkernya tempat itu di malam hari. Belum lagi antar pengunjung, berada di pondok yang berlainan. Jadi, kau hanya tinggal sendirian dalam bangunan itu. Sedangkan bangunan itu terdiri dari satu kamar tidur, kamar mandi, dapur dan ruang tamu, walaupun ada beberapa tipe yang menyediakan dua kamar. Sedangkan resepsionisnya sendiri, bertempat di pondok khusus paling ujung dekat dengan jalan raya. Walaupun disebut jalan raya, tidak berarti seperti jalan raya disini. Karena tempat itu adalah daerah perbukitan, yang tiap hari, hanya beberapa kendaraan saja yang lewat."
"Nah, Eka ini, adalah anak kedua dari pasangan Cahyo Pradana, seorang pimpinan  perusahaan Agra Mitra yang dulu bergerak di bidang properti dan istrinya, Marni Harda, seorang disrtibutor baju-baju remaja daerah timur Surabaya hingga Jember. Kakaknya Hendra Pradana adalah seorang karyawan swasta dan menjalankan beberapa bisnis.
"Kasus ini bermula saat Eka menginap di Graha Indah pada tanggal 11 September 2013. Resepsionis tempat itu, Ny. Rahma, mengatakan bahwa Eka tiba disana jam 9.00 pagi dan berencana menginap selama tiga hari. Ia menyewa pondok nomor 13. Agus dan temannya Reza, petugas kebersihan tempat itu, tiap pagi bertugas membersihkan semua pondok di Graha indah. Mereka sependapat bahwa di hari kedua Eka menginap, yaitu tanggal 12,  tepatnya jam 8.00 pagi, Eka masih membukakan pintu untuk mereka, ketika mereka hendak membersihkan pondok tersebut. Namun  keesokan harinya tanggal 13, Agus hendak melakukan tugasnya, tapi tidak ada siapapun yang membukakan pintu. Agus pikir tamunya sedang tidur, jadi Agus melewati pondok itu. Ia kembali pada jam 10.00, namun tetap tak ada yang membukakan pintu. Agus melaporkan hal tersebut kepada Ny. Rahma. Tapi pada awalnya, Ny. Rahma menganggap tamunya mungkin tidak mau diganggu. Nah, baru ketika malam hari, Ny. Rahma curiga karena lampu pondok tersebut tetap dalam keadaan mati. Jadi dia bersama Agus memeriksa dan memencet bel pintu depan berkali-kali. Karena tidak ada jawaban, maka Ny. Rahma membuka pintu pondok tersebut dengan kunci cadangan, dan menemukan Eka terlentang tak bernyawa di lantai dapurnya. Ia lalu menghubungi nomor darurat."
"Bagaimana kondisi mayat korban?"
"Tidak ada bekas penganiayaan. Hasil otopsi menunjukkan adanya jenis racun pada organ dalam korban."
"Apa ada temannya yang berkunjung sebelum kematiannya?"
"Tidak ada. Diperkirakan Eka meninggal tanggal 13 September jam 7.00 pagi. Di atas meja dapur terdapat segelas kopi yang positif mengandung racun. Polisi setempat sudah memeriksa tempat itu dan mencari dari mana racun itu berasal, namun tidak menemukan apa-apa. Saluran air, peralatan dapur seperti sendok dan gelas, serta barang-barang milik korban sudah diperiksa, namun tidak ada hasil. Tidak ada orang masuk ke tempat itu secara paksa. Polisi sudah memeriksa semua kemungkinan adanya orang yang masuk ke pondok tersebut, tapi tidak menemukan apa pun. Jendela dan pintu terkunci dari dalam. Tidak ada jejak kaki yang mencurigakan di sekitar pondok tersebut, padahal tanah disana basah karena hujan. Intinya Eka sendirian selama tinggal di penginapan tersebut."
"Lalu apa kesimpulan polisi?"
"Ada yang mengatakan bunuh diri. Namun dalam laporan yang aku terima kemarin, tertulis keracunan. Jadi itu murni kecelakaan. Penyelidikan kasus ini sebenarnya sudah selesai. Tapi pihak keluarga korban memberikan informasi baru dan ingin pengusutan ulang, serta meminta ditangani penyidik gabungan dari Surabaya. Karena kasus ini di anggap spele, aku ditugaskan untuk melakukan pengusutan kasus tersebut. Sebenarnya banyak rekan-rekanku yakin bahwa tidak akan ada perkembangan baru dalam kasus ini, tapi aku tetap akan melakukan tugasku sebaik mungkin."
"Lalu kapan kau akan berangkat?"
"Malam ini, jika kau tidak sibuk."
"Aku?"
"Iya, aku kesana sendirian, makanya aku ingin kau ikut bersamaku. Bukankah ini juga bisa menjadi bahan tulisanmu untuk surat kabar?"
"Memang," kataku. "Tapi aku sedang mengerjakan pemberitaan lain, dan..."
"Jadi, kau tidak bisa ikut?" Wajah Jenny berubah sedih.
Aku diam sebentar. Menghela nafas.
"Baiklah, aku akan menemanimu."
Jenny tampak sangat senang dengan jawabanku.
***
Sesudah makan malam, kami berangkat dengan kereta api kelas ekonomi. Bagiku itu nyaman. Sepanjang perjalanan Jenny banyak bercanda dan bercerita tentang hal-hal lucu. Aku hanya menjadi pendengar. Sekitar jam 23.00 kami tiba di stasiun kota tujuan kami dan menginap disana semalam. Baru pada pagi hari kami sarapan dan berangkat menuju Graha Indah.
Graha indah, seperti yang dijelaskan Jenny, merupakan bangunan-bangunan kecil terpisah yang berjajar hampir mengelilingi sebuah danau kecil. Di sebelah utara terdapat pegunungan yang menjulang tinggi, dan menambah ke indahan tempat itu.
Kami langsung menemui Ny. Rahma, sang Resepsionis. Setelah menanyakan beberapa hal, Jenny dan aku diantar ke pondok tempat terjadinya tragedi itu.
Pondok itu sama persis seperti bangunan yang lain. Bangunannya kecil dan sederhana. Dindingnya terbuat dari beton berpola susunan bata merah. Atapnya rendah berwana abu-abu. Ada teras kecil di depan menghadap danau. Aku bisa melihat sisi sebelah kiri adalah kamar tidur, itu karena jendela yang besar dan sisi bangunannya agak menjorok ke depan. Sisi yang lain terdapat pintu masuk. Sebuah garis polisi masih melilit pintu itu.
Jenny melepas garis polisi itu kemudian masuk ke dalam pondok. Aku menyusulnya, kemudian Ny. Rahma paling belakang.
Sebenarnya itu satu ruangan, antara ruang tamu dan dapur tidak ada pemisah, hanya ruangan yang didesain sedemikian rupa hingga berbentuk huruf L. Seandainya gorden jendela depan sedang terbuka, aku yakin orang bisa melihat mayat korban yang terkapar di sisi ruangan dapur dekat meja. Sebuah siluet berbentuk tubuh manusia tergambar disana.
Jenny berjongkok beberapa lama, memperhatikan seluet itu. Ia berjalan mengitari dapur. Meja dapur, tempat masak, kursi dan laci dapur di periksanya. Jenny menoleh ke pojok ruangan dan berjalan menuju sebuah tempat sampah. Ia membuka tutupnya dan menoleh ke arah Ny. Rahma.
"Apa tidak ada yang berubah dari TKP ini sejak anda menemukan mayat korban, Nyonya?"
"Saya rasa tidak ada, Nona. Kecuali kursi itu." Ny. Rahma menunjuk salah satu kursi makan.
"Bagaimana seharusnya?"
"Kursi itu agak menjorok keluar tepat sejajar dengan kaki korban."
"Begitu, jadi maksud anda, korban sedang duduk di kursi ini dan terjatuh setelah minum kopi beracun?"
"Sepertinya begitu."
"Itu tidak begitu penting, polisi sebelumnya sudah pasti tahu hal itu."
Jenny mengeluarkan isi tempat sampah itu satu persatu. Isinnya tidak banyak karena pada tanggal 12, tempat ini sudah dibersihkan oleh Agus. Isinya dua bungkus snack, lima bungkus mie instan, dan empat bungkus kopi instan. Semua benda tersebut di tata rapi di atas meja.
Tiba-tiba kami dikejutkan oleh langkah kaki dari luar. Seorang pria setengah baya berjaket kulit memasuki ruangan. Pria itu pasti seorang polisi. Aku menebaknya dari penampilannya, sepatu hitam mengkilat, celana yang rapi dan potongan rambutnya.
"Selamat pagi," sapanya kepada kami. Dia memperhatikan kami bergantian, lalu menyalamiku, Jenny dan Ny. Rahma.
"Maaf saya terlambat," katanya sambil tersenyum malu kepada Jenny. "Anda pasti ..."
"Jenny ..." kata Jenny.
"Ah, iya maaf karena saya tidak diberitahu sebelumnya."
"Dan anda pasti Pak Hasan."
"Iya, benar. Saya yang menangani kasus ini sebelumnya."
"Saya sudah mempelajari laporan anda, Pak."
"Terimakasih. Lalu apa ada yang bisa saya bantu?"
Aku kira Jenny akan menggeleng, ternyata aku salah.
"Iya, bisakah anda kesini?" Jenny berjalan menuju meja tempat sampah-sampah itu ditata. "Saya yakin anda sudah memeriksanya. Bisakah anda mengingat-ingat bungkus apa yang paling atas terletak di dalam tempat sampah?"
"Apakah itu perlu, Bu? Saya hanya memeriksa isinya, namun tidak menemukan apa-apa."
"Bagi saya sekarang, bungkusnya lebih penting," kata Jenny.
"Baiklah, kalau begitu. Sepertinya dua buah bungkus kopi, berada paling atas. Lalu di bawahnya bungkus mie, lalu snack ini, kemuadian saya lupa yang mana urutannya."
"Tidak masalah. Karena jika di urut dari bawah maka seperti ini, mie, snack, mie, kopi, kopi, mie, snack, mie, mie, kopi, kopi."
"Saya tidak mengerti bagaimana anda mengurutkannya dan kenapa ini begitu penting? Padahal saya yakin ini kecelakaan."
"Soal urutan bungkus makanan ini adalah jadwal makan. Korban tiba disini jam 9.00 artinya korban sudah sarapan sebelum sampai disini. Hari itu tanggal 11, dia makan siang dengan mie, lalu snack, dan malam hari ia makan mie lalu ditutup dengan kopi. Besoknya tanggal 12 pagi hari, ia minum kopi sebelum sarapan mie, lalu makan snack karena umumnya orang ngemil pada jam 8.00 sampai jam 10.00 pagi. Lalu korban makan siang dengan mie, makan malam dengan mie, lalu minum kopi. Baru pada tangga 13 pagi hari, ia minum kopi beracun itu lalu meninggal. Jadi menurut anda, dua bungkus kopi yang manakah yang paling atas?"
"Wah, saya menyerah kalau hal itu."
Jenny tersenyum. "Tentu saja dua yang ini," jelas Jenny dengan tegas.
"Bagaimana anda begitu yakin?"
"Karena dua yang lain ada cipratan saos dan bumbu mie. Itu artinya bungkus kopi itu berada di bawah bungkus mie. Sedangkan dua bungkus kopi yang ini, tidak sama sekali. Sekarang masalahnya, di antara dua ini, yang mana yang mengandung racun? Tidak ada sisa bubuk kopi sama sekali di kedua bungkus ini, yang membuat kita kesulitan menentukan yang mana kopi terakhir."
Jenny membawa dua bungkus kopi itu ke jendela. Gorden dibuka dengan lebar. Cahaya matahari menerobos masuk ke ruang dapur. Jenny mengeluarkan kaca pembesarnya lalu mengamati dua bungkus kopi itu dengan seksama. Tiba-tiba ia terlonjak dan menatap kami dengan ekspresi mengejutkan. Kami sontak ikut terkejut.
"Ada apa?"
"Pak Hasan, maaf sebelumnya, karena menurut saya ini bukan kasus keracunan biasa, melainkan pembunuhan."
Kami semua terkejut. Aku sendiri menjadi merinding mendengar kesimpulam Jenny.
"Sini, perhatikan!" katanya. "Jika anda jeli, anda akan melihat lubang kecil tak kasat di salah satu sisi bungkus kopi ini."
Kami membungkuk memperhatikan. Memang ada lubang kecil di bungkus kopi itu seperti yang dikatakan Jenny.
"Maaf, Bu. Saya belum mengerti maksud anda dan bagaimana anda berkesimpulan demikian? Padahal saya pastikan, korban sendirian di pondok ini dari tanggal 11 sampai tanggal 13 September."
"Pembunuhnya tidak perlu ke tempat ini. Ia hanya cukup menyutikkan serbuk racun ke dalam bungkus kopi ini."
Aku, demikian juga dengan Pak Hasan dan Ny. Rahma, terkesiap mendengar penjelasan Jenny.
"Bungkus kopi ini masih bagus. Kemungkinan baru di beli untuk bekalnya ke sini. Untunglah kebiasaan korban yang rapi, termasuk cara ia membuka bungkus kopi ini, telah membatu kita untuk menemukan lubang kecil ini. Pak Hasan, lubang kecil ini, mengubah semua arah penyelidikan kita secara keseluruhan."
***
"Jika ini kasus pembunuhan, lalu siapakah tersangkanya?"
"Tentu orang yang mengenal korban, keluarga, teman, tetangga dan sebagainya. Tapi kita akan fokus pada orang yang bersama korban sehari sebelum tanggal 11. Dan untuk mencari informasi itu saya butuh bantuan anda, Pak Hasan."
"Serahkan semuanya pada saya," kata Pak Hasan.
Kami berpisah dengan Pak Hasan.
Jenny berdiri sambil melihat jamnya. Ia tampak sibuk menelpon seseorang. Lama aku menunggunya, hingga akhirnya dia menghampiriku.
"Masih banyak waktu," ujarnya. "kita akan naik taxi untuk berkeliling kota. Ini akan menyenangkan."
"Kau serius menangani kasus ini?" tanyaku.
Jenny tertawa.
"Tentu saja. Langkah berikutnya sangat mudah untuk menentukan siapa pembunuhnya."
"Tapi, kau sama sekali belum menemui keluarga atau teman korban, kan?"
"Iya. Itu langkah terakhir setelah kita tahu siapa pembunuhnya."
Aku masih tidak mengerti bagaimana caranya Jenny bisa menemukan satu orang tersangka di tengah jutaan orang di kota ini? Tapi meski demikian, aku mengikuti kemauannya saja, dan berharap dia benar.
Satu jam kemudian taxy yang kami pesan datang. Kami langsung menuju sebuah bangunan di pusat kota. Bangunan itu adalah sederet toko-toko besar yang menjual banyak barang. Kami bergegas masuk. Dan menuju lantai atas. Saat kami memasuki ruang atas, tiba-tiba tercium bau menyengat dan tidak nyaman.
"Tempat apa ini?" tanyaku sambil menutup hidung.
"Ini adalah toko bahan kimia. Semua barang disini tidak dijual secara bebas melainkan melalui pengawasan dan izin seorang ahli."
"Terus kenapa kita kesini?"
Karena dari sinilah pembunuhnya membeli racun itu."
"Darimana kau tahu?"
"Dari temanku, tadi aku menghubunginya. Di kota ini, hanya  toko ini yang menjual bahan-bahan kimia seperti racun jenis yang digunakan membunuh Eka Pradana."
Kami menemui seseorang disana. Seorang perempuan berpakaian seragam perusahaan tersebut. Rambutnya panjang dan di ikat. Usianya masih muda, mungkin 30 tahunan.
Jenny menunjukkan lecananya. "Kami mencari informasi pembeli bahan ini pada hari sebelum tanggal 11 September atau seminggu sebelumnya." Jenny menunjukkan selembar kertas pada wanita itu. Wanita itu melihat catatan di kertas tersebut.
"Maaf, kami merahasiakan identitas pelanggan kami. Kami tidak bisa membantu," jawab kasir itu.
"Tidak jika ini berhubungan dengan kasus pembunuhan. Atau hubungi atasanmu dan katakan maksud kedatangan kami."
Wanita itu menghubungi atasannya melalu telepon internal. Setelah berbicara sebentar, ia menutupnya.
Lalu mulai sibuk mencari sesuatu di komputernya.
"Ada tiga orang," katanya pada akhirnya.
"Siapa saja?" Jenny mengeluarkan buku catatannya.
"Dr. Handoko, Dr. Gerry F. Syah, dan Prof. Ali Muksi. Alamat dan nomor kontaknya anda bisa lihat sendiri disini." Wanita itu menunjukkan daftar tamu. Sesudah mencatatnya, Jenny dan aku meninggalkan tempat itu. Lalu, Ia menghubungi Pak Hasan dan menanyakan beberapa hal.
Sesudah selesai ia menghampiriku.
"Bagaimana?" kataku.
"Nama tersangka kita adalah Naila Puteri. Dia adalah mantan pacar korban, dan dua orang teman korban bernama Angga Setiawan dan Cipto Hadi. Mereka lah yang sempat berada bersama korban sehari atau dua hari sebelum korban berangkat ke Graha Indah. Salah satu dari mereka pasti adalah pelakunya. Tapi kita perlu memastikan siapa yang memiliki hubungan dengan dokter-dokter dan profesor ini," kata Jenny sambil menyelipkan buku catatannya ke dalam tas.
Saat kami berada di dalam taxy, Jenny menunjukkan buku catatannya kembali.
"Eddo, menurutmu siapakah yang paling tepat kita kunjungi pertama kali?" tanya Jenny kepadaku. "Hanya tebakan saja," lanjutnya, "Agar kerja kita lebih efisien. Aku perlu menjelaskan pekerjaan mereka dulu, mungkin itu akan membantumu. Dr. Handoko adalah seorang ahli psikologi dan alamatnya di Jl. Hayam Wuruk no. 46. Dr. Gerry adalah dokter hewan dan ahli botani, bekerja di lembaga penelitian obat-obatan, tempat tinggalnya di Jl. Merdeka no. 124. Dan yang terakhir Prof. Ali Muksi. Dia adalah seorang dosen di universitas ternama disini. Ia ahli di bidang kimia."
"Menurutku yang terakhir," jawabku singkat.
"Iya, memang segalanya mungkin. Tapi kita akan mengunjungi Dr. Handoko terlebih dahulu."
"Kenapa minta pendapatku jika kau punya pendapat sendiri?"
"Oh, aku hanya memastikan apa jalan pikiranmu sama denganku."
"Kalau begitu apa alasanmu mengunjungi Dr. Handoko terlebih dahulu?"
"Sederhana saja. Hanya dia yang agak jauh dari bidang ini. Dia ahli psikologi tp buat apa gerangan racun itu? Kita akan mengetahuinya segera."
Begitu turun dari taxy, kami berjalan beberapa meter menuju rumah Dr. Handoko. Dr. Handoko adalah orang yang ramah. Ia menyalami dan mempersilahkan kami masuk. Perawakannya sedang. Wajahnya tampan dan berkumis tebal. Sedangkan rumah itu sendiri hanya rumah sederhana. Halamannya dipenuhi rumput hijau namun tetap indah.
"Kami mohon maaf mengganggu, Dokter. Maksud tujuan kami adalah ini," kata Jenny sambil menyuguhkan buku bertulis nama sebuah racun.
Dokter itu melihat sekilas.
"Itu adalah racun untuk hewan hama, seperti tikus dan babi hutan, hanya saja dosisnya jauh lebih tinggi," kata sang dokter.
"Bukan itu maksud saya, Dokter. Satu minggu yang lalu anda membeli racun ini untuk apa?"
Sang dokter mengeryitkan keningnya.
"Kenapa anda bertanya demikian?"
"Karena anda sama sekali bukan ahli di bidang kimia, Dokter. Alangkah beruntungnya saya jika anda mau berterus terang."
"Saya tidak mengerti tujuan anda sebenarnya datang kesini tapi baiklah akan saya beritahu. Salah seorang pasienku, mengeluh karena banyak tikus di rumahnya. Ia meminta tolong padaku untuk membelikan racun itu."
"Siapa namanya?"
"Naila Puteri, dia adalah pasienku. Dia sering depresi dan kadang bertindak sedikit nekat bila sedang kumat. Secara keseluruhan dia gadis yang normal hanya saja emosinya sangat labil."
"Baiklah, terimakasih, Dokter. Informasi anda sudah cukup bagi kami. Kami mohon diri dulu, sekali lagi terimakasih."
"Nah, begini kan lebih efisien?" Kata Jenny ketika kami sampai di halaman. "Sekarang kita tidak perlu mengunjung Dr. Gerry atau pun Prof. Ali Muksi karena kita sudah menemukan mata rantainya. Hal terakhir bagi kita adalah mengintrogasi satu-satunya tersangka, yaitu Naila."
Jam 16.00, kami berdua menemui Pak Hasan kembali. Pak Hasan bercerita panjang lebar tentang penyelidikannya. Walaupun pada akhirnya dia tidak dapat menentukan siapa pelakunya. Maka giliran Jenny menceritakan penyelidikannya. Pak Hasan tidak percaya begitu mudahnya melakukan penyelidikan semacam itu, tapi hasilnya sangat efektif.
Tak lama berselang kami langsung menuju rumah tersangka. Namun hasilnya nihil. Naila sudah pergi keluar negeri satu hari setelah keluarga korban meminta pengusutan ulang kasus ini. Jenny dan Pak Hasan sangat kecewa. "Aku tidak menduga yang satu hal ini," kata Jenny. "Aku terlalu lamban."
"Apa? Anda menyelesaikan kasus ini dalam sehari dan masih bilang lamban?"
"Ya, karena kita telah gagal menangkap pelaku kejahatan ini."
"Tapi setidaknya kau sudah berusaha," kataku.
Kami kembali ke Surabaya ke esokan harinya. Pengejaran terhadap Naila Puteri dilakukan oleh tim penyidik lain. Kami tidak mendengar kabar apa pun terkait pengejaran itu di minggu pertama. Baru setelah dua bulan berlalu kami mendengar kabar bahwa Naila Puteri berhasil di tangkap di Swizz dengan nama baru. Kabarnya motif pembunuhan itu adalah kekesalan tersangka kepada korban yang enggan menikahinya, padahal hubungan mereka sudah sangat dekat.

No comments:

Post a Comment