Tuesday 13 September 2016

Detektif Jen : Tantangan Maut

CERPEN DETEKTIF JEN : Pada tanggal 31 Desember 2013, Jenny menerima sebuah surat undangan yang di antar oleh seorang bocah kepadanya saat kami sedang sarapan di sebuah kedai di pinggir jalan. Saat Jenny membaca dan merasa ada yang janggal dari surat itu, ia mencari bocah pengantar surat tadi, namun bocah itu sudah menghilang entah kemana.
"Ada apa?" kataku.
Jenny menunjukan surat itu. Isinya singkat saja.
Dapatkah kau mencegahku untuk membunuh di pesta tahun baru nanti malam?
"Mungkin itu hanya kerjaan orang iseng," kataku.
"Bisa jadi. Siapa yang mau mengundang polisi untuk rencana sebuah pembunuhan?"
"Ada-ada saja orang-orang ini," kataku.
Jenny berdiri dan berjalan menuju tempat sampah. Ia melumat kertas undangan iseng itu, lalu melemparkannya ke tempat sampah. Jenny berjalan dengan langkah pasti seraya mengusap kedua telapak tangannya.
"Nah, aku akan menghabiskan sarapanku dulu, baru berangkat ke kantor," ujarnya sambil duduk siap menyantap.
"Apa perlu aku antar?"
"Ah, tidak perlu. Aku tahu kau juga sibuk akhir-akhir ini. Jadi aku jalan kaki saja. Banyak hal yang bisa aku nikmati sambil berjalan menuju kantor. Kau yakin tidak mau keluar bersamaku nanti malam?"
"Entahlah," kataku. "Bila sempat aku akan menghubungimu. Akhir-akhir ini bos-ku sering mengeluh karena berita yang kumuat hanya berita-berita biasa. Jadi aku hari ini agak sibuk, paling tidak sampai nanti malam."
"Terserah kau saja kalau begitu. Yang jelas nanti malam aku free. Aku tidak ada tugas di malam tahun baru, kecuali untuk situasi darurat."
"Baiklah hubungi aku nanti," kataku sambil bangkit mencium keningnya.
***
Dari pagi hingga sore aku sibuk di kantorku menulis berita. Aku hanya istirahat beberapa menit untuk minum kopi dan makan siang. Rasa capek mulai menggelandoti bahu dan punggungku. Mataku juga mulai lelah. Sesekali aku menarik lenganku ke atas untuk meregangkan pinggangku. Lalu kembali pada kesibukanku.
Pada jam 15.00, Jenny mengirim sebuah foto padaku melalui WA. Sebuah gambar bangunan mirip hotel. Tidak ada plakat atau tulisan apa pun di gambar itu. Sudut mengambil fotonya juga kurang bagus, sehingga aku kesulitan menebak itu bangunan apa.
Berikutnya sebuah text dari Jenny.
Orang iseng itu mulai lagi. Dia mengirim gambar itu menggunakan nomor baru. Ketika aku hubungi nomor itu sudah tidak aktif. Ini pesan darinya : 'kau terlalu lamban'.
Aku membalasnya.
Apa kau bisa mencari tahu siapa dia?
Jenny membalas.
Tidak, itu tidak perlu karena bisa saja, seperti katamu, itu hanya kerjaan orang iseng.
Aku kembali sibuk dengan pekerjaanku hingga jam 19.30. Ketika itu, HP-ku berbunyi kembali.
Itu dari Jenny lagi.
Ancaman itu serius. Aku akan melapor ke kantor.
Aku membalas.
Apa maksudmu?
Tiba-tiba Jenny mengirim sebuah gambar. Gambar itu adalah sebuah gambar wanita telanjang bulat terkapar di atas lantai. Salah satu tangannya terangkat kaku. Rambutnya panjang dan menutupi wajahnya. Tidak ada darah tapi dari warna kulitnya aku yakin wanita itu sudah meninggal.
Mendadak jantungku berdebar kencang. Aku bangkit dari dudukku dan berlari menuju mobil.
Sepanjang perjalanan aku tidak bisa tenang. Aku berulang kali menghubungi Jenny namun tidak ada jawaban. Aku terus melajukan mobilku dengan kencang sampai akhirnya tiba di sebuah persimpangan menuju alun-alun kota.
Jalanan macet karena ditutup.
Aku menepikan mobilku dan berlari keluar menerobos kerumunan orang yang berjalan kaki. Mereka seperti kelompok semut yang bergerak begitu lambat merayapi sebuah batang cokelat. Suara gemuruh, musik serta aroma masakan yang dijual di pinggir trotoar tidak aku hiraukan.
Aku terus berlari sambil sesekali mencari celah diantara orang yang berlalu lalang.
Aku tiba di kantor polisi.
"Di mana Jenny?" tanyaku sedikit terengah-engah kepada seorang polisi yang sedang duduk di teras.
"Dia tidak di sini," jawab polisi muda itu.
"Sial!" umpatku.
Aku kembali berlari sambil mencoba menghubungi Jenny. "Tiit!" Diangkat.
"Jen, dimana kau?"
"Di Laguna Hotel."
Dengan cepat aku memutar mobilku dan menuju arah yang berlawanan. Aku mengikuti arah yang ditunjukkan Jenny, hingga tiba di jalanan tepi pantai. Jalanan itu juga ditutup. Aku melihat ada banyak mobil diparkir di kanan-kiri sepanjang jalan. Mobil polisi dan ambulan pun ada disana. Aku melihat beberapa anggota polisi berjaga di sana.
Aku meminggirkan mobilku dan berlari menerobos lautan manusia. Agak jauh aku berjalan berdesakan hingga mataku tertuju pada satu bagunan di sisi jalan. Jantungku seperti berhenti berdetak. Bagunan itu tidak lain adalah bagunan dalam foto yang dikirim oleh Jenny kepadaku. Jadi benar, itu bukan sekedar ancaman. Jenny pasti dalam bahaya.
Aku berlari dan mendorong pintu kaca kuat-kuat. Beberapa orang menatap ke arahku. Namun aku tidak peduli. Aku berlari menuju lift dan langsung menekan tombolnya berkali-kali. Bagiku lift itu terasa sangat lambat. Akhirnya aku berlari menuju tangga di sudut ruangan. Tepat ketika aku berada di lantai tiga, aku dihadang oleh dua orang polisi.
"Aku temannya Jenny," kataku.
Polisi itu menggeleng, sambil berkata, "Tunggulah disini. Inspektur sedang melakukan penyelidikan di sana."
"Apa dia baik-baik saja?"
"Apa maksud anda?"
"Inspektur Jenny? Apa dia baik-baik saja?"
"Tentu saja!" kata polisi itu dengan nada kesal.
Aku sedikit merasa lega. "Aku bersikap seperti ini karena aku mengira pembunuhnya mengincar Jenny juga," kataku menjelasakan pada mereka untuk mengurangi rasa maluku.
"Terserah lah," jawab polisi yang lebih muda.
"Tapi darimana kau tahu kalau ini kasus pembunuhan?" kata polisi yang lebih tua penuh curiga. Sesaat aku agak ragu menjawabnya.
"Dari inspektur Jenny," kataku kemudian.
Aku menunggu beberapa lama. Hingga tim medis mengangkut sebuah buntalan berbungkus kain, keluar dari kamar nomor 313. Mereka melewatiku dengan perlahan dan masuk kedalam lift. Tak lama setelah itu aku melihat Jenny dan dua anak buahnya keluar dari kamar yang sama. Salah seorang dari mereka memasang garis polisi.
Jenny melihat ke arahku dan berjalan mendekat. Setelannya begitu keren. Rambut pendek yang khas. Mantel kulit berwarna cokelat panjang hingga bawah lututnya. Kerahnya terangkat menutupi lehernya. Sekilas jika aku melihat penampilannya yang seperti detektif klasik, aku yakin tidak akan ada yang mampu menyakiti wanita ini.
Langkahnya terhenti dan meraih HP dari mantelnya. Tiba-tiba ekspresinya berubah serius. Ia berlari ke arahku, melewati anak buahnya yang mencegahku, lalu meraih tanganku seraya menarikku menuju lift.
Aku kaget, namun juga sedikit senang, karena aku sempat melihat ekspresi kedua polisi itu yang keheranan dengan aksi Jenny menggenggam tanganku dan mengajakku lari bersama. Saat sambil berlari, sepintas aku melirik wajah Jenny sambil tersenyum. Tapi wajahnya yang sedang panik langsung menciutkan hatiku. Ada apa?  Pikirku.
Ketika dalam lift Jenny menunjukkan sebuah gambar. Gambar itu adalah gambar sebuah bangunan seperti hotel juga. Namun jauh lebih tinggi dari hotel ini. Tidak terlihat nama hotel sehingga sulit ditebak. Pengirimnya jelas ingin menyembunyikan lokasinya agar polisi mencari tahu sendiri tempat itu.
"Nomor baru lagi," kata Jenny agak cemas. "Setiap pesan dan gambar yang dikirim selalu menggunakan nomor baru. Ia selalu mengganti kartunya."
"Cerdas!" kataku. "Itu membuatnya sulit dilacak."
Jenny meraih Hp-nya dari tanganku dan menghubungi Elo. Aku tahu karena sempat melihat kontaknya.
"Sudah kau dapatkan?" kata Jenny.
"Tunggu, tunggu, tunggu." Elo terdengar sibuk. "Aku dapat," kata Elo. "Central Hotel! Pusat kota!" teriaknya.
Jenny dan aku berhambur keluar dari Hotel dan berlari menuju mobil. "Pakai mobilmu," teriak Jenny padaku sambil terus berlari. Aku mengerti maksudnya agar target kami tidak waspada.
***
Kami tiba di sebuah keramaian kota. Aku dan Jenny menerobos kerumunan orang sambil berdesak-desakan.
"Itu, sebelah sana!" kata Jenny.
Aku mempercepat langkahku. Namun ketika kami tiba di pintu masuk hotel, langkah Jenny terhenti. Hp-nya kembali berbunyi. Sebuah gambar lagi, pikirku.
Aku dan Jenny tahu persis gambar apa itu. Itu sebuah gambar yang di ambil dari atas gedung, tepatnya lantai paling atas. Terlihat jelas di lantai dasar, tepat di tepi sebuah kolam renang, seorang perempuan bergaun pesta berwarna putih tertelungkup. Kepalanya dipenuhi dengan darah. Darah itu juga muncrat di lantai dekat kepalanya.
Aku sangat terkejut.
"Kita terlambat," kata Jenny. Ia berlari memasuki hotel. Di dalam, orang mulai berkerumun ke arah kolam renang yang betada di belakang bangunan utama.
"Kau urus korban aku akan mengejar pelakunya. Dia pasti masih berada di lantai atas," kata Jenny.
Aku tidak bertanya apa-apa lagi. Aku melihat Jenny berlari ke arah lift. Sedangkan aku terus ke halaman belakang.
"Beri jalan, beri jalan!" kataku setengah berteriak. Aku menerobos kerumunan orang-orang itu. Tepat ketika aku sampai di bagian tengah, aku melihat pemandangan persis seperti gambar yang di kirim ke hp Jenny. Perempuan itu masih muda mungkin usianya masih 19 tahun. Wajahnya cantik dan berkulit indah. Namun aku malah merinding melihatnya.
"Menyingkir semuanya," kataku. Aku menghubungi nomor darurat. Sekitar 15 menit kemudian beberapa polisi dan tim medis datang. Aku bisa lega sebentar. Namun aku harus segera menyusul Jenny. Aku naik ke lantai atas melalui lift.
Lantai atas itu kosong. Tidak ada apa-apa disana. Hanya sebuah pemandangan kota yang indah. Sebuah pintu di tengah menuju tangga ke lantai bawah. Di sudut tempat itu, terdapat tandon-tandon besar. Namun aku tidak melihat siapa pun disana.
Aku melangkah dengan hati-hati ke samping bangunan. Lantai itu agak basah karena gerimis. Kujulurkan kepalaku ke bawah, maka aku dapat melihat orang-orang berkerumun di salah satu sisi kolam renang di lantai dasar. Beberapa polisi sedang sibuk memeriksa mayat korban. Lalu perhatianku mengarah pada salah satu sudut yang aku yakini sebagai tempat pelaku mendorong korban. Aku mendekati tempat itu, tepat lurus di atas mayat korban di bawah sana.
Ketika aku hendak menghubungi Jenny, HP-ku berdetit. Sebuah pesan melalui WA masuk.
Aku meraih HP-ku. Seketika jangtungku berdegup. Aku bisa merasakan aura panas seperti mengalir merambati tubuhku dari jantung hingga kaki.
Pesan itu adalah sebuah gambar yang dikirim dari HP milik Jenny. Gambar itu adalah foto wanita berambut pendek, dan cantik. Dimulutnya ditutup plester. Wanita itu dalam keadaan pingsan, sedangkan tangannya terikat kebelakang. Ia hanya mengenakan kaos oblong warna abu-abu. Sebuah mantel cokelat tergelatak di sampingnya. Sosok itu meringkuk di sebuah kursi belakang sebuah mobil. Secara keseluruhan aku sangat mengenal wanita itu, yang tidak lain adalah Jenny.
***
Aku langsung berlari keluar sambil menghubungi kakaku, Alex. Dengan tergesa-gesa dan nada panik aku meminta bantuannya. Sebagai detektif senior sekaligus orang yang mementori Jenny selama ini, aku yakin dia akan tahu apa yang harus dia lakukan. Aku mengirim gambar yang dikirim ke WA-ku pada Alex.
Aku menghubungi nomor Jenny. Namun tidak ada jawaban. Aku terus berlari berusaha mencari mobil yang digunakan pelaku untuk menyekap Jenny. Namun sepertinya aku terlambat.
Lima belas menit kemudia Alex datang menghampiriku yang sedang duduk tak berdaya di sebuah pembatas jalan. Aku bangkit dan memeluknya.
Alex mengenakan jaket kulit hitam dan celana Jeans warna gelap. Tetesan air hujan bercipratan di topinya yang hitam. Tubuhnya setinggi aku dan gaya berjalannya sangat hati-hati. Berewok dan kumisnya tipis dan dicukur rapi. Matanya tajam dan penuh percaya diri. Kadang aku merasa iri pada kakakku ini. Namun perlakuannya padaku selama ini lebih dari yang aku butuhkan. Terutama saat ayah kami sudah tiada.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya sambil menepuk pipiku.
"Aku baik-baik saja," kataku. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Kita akan menunggu. Sementara teman-temanku melacak mobil Van itu."
"Darimana kau tahu itu sebuah Van?"
"Dari foto yang kau kirim. Itu jelas mobil Van," katanya. "Kau lihat bangunan sebelah sana? Ayo kita kesana."
Kami memasuki sebuah bangunan di seberang jalan. Bangunan itu adalah sebuah restoran kecil dan tidak memiliki area parkir sendiri.
"Ada yang bisa saya bantu?" kata seorang pelayan saat kami di belakang meja kasir.
Alex menunjukkan lecana dan mulai berbicara sebentar.
"CCTV?" kata pelayan bertubuh seksi itu.
"Iya," jawab kakakku singkat.
Kami lalu di antar ke sebuah pintu di sisi ruangan. Kami masuk dan berdiri di depan beberapa layar TV. Ruangan itu gelap dan penerangannya hanya dari layar TV dengan gambar berbagai sudut bangunan. Sebuah kursi membelakangi kami dan siluet bayangan seseorang sedang duduk di kursi tersebut. Siluet itu berdiri ketika kami memasuki ruangan. Kami menghampirinya.
"Ada yang bisa saya bantu?" kata orang itu. Pria di depan kami bertubuh gempal dan perawakannya pendek namun sikapnya tegas. Aku sempat melihat wajahnya yang membias cahaya layar. Wajahnya berisi terutama di bagian pipi, kumis tebal menggantung di bawah hidungnya yang lebar.
"Ya, saya yakin kamera depan restoran ini telah menangkap sebuah gambar yang kami butuhkan," kata Alex.
"Mungkin anda bisa menjelaskan dengan lebih spesifik."
"Tampilkan saja gambar dari CCTV yang menghadap ke jalan, lalu atur waktunya 30 menit yang lalu."
Orang itu melakukan perintah Alex. Aku melihat jalanan di depan bangunan yang dijadikan parkir mobil-mobil di kedua sisinya. Gambar itu perlahan bergerak mundur. Tiba-tiba kami melihat adegan yang sangat jelas. Jenny ditopang seorang pria bertopi hitam, persis topi yang dipakai Alex, memasuki sebuah Van berwarna putih. Sayangnya kami tidak melihat plat nomor mobil tersebut. Aku semakin geram melihat adegan itu. Aku tahu Jenny sedang dibius. Dan pria itu berlindung di bawah topinya.
"Ayo," kata Alex.
Kami bergegas meninggalkan tempat itu dan masuk ke mobil.
Alex memutar Ford Ranger-nya dan melaju kencang. Aku memperhatikan jalanan yang mulai licin, tapi pikiranku tak pernah bisa tenang.
Alex menghubungi seseorang, "ya, benar! Warna putih. Dimana? Sial! Kita sudah kehabisan banyak waktu!" Alex setengah berteriak. Aku melihat mimik wajahnya yang mulai tak tenang.
Hening sebentar.
"Bagaimana?" kataku.
Alex terdiam dan menggeleng pelan.
Tak lama setelah itu, HP-ku berdetit. Sebuah pesan gambar masuk. Kali ini gambar sebuah bangunan, tepatnya sederet bangunan di pusat kota. Aku memperhatikan sebentar. Foto itu di ambil dari atap sebuah bangunan ke arah jalan yang ramai. Di ujung jalan terdapat sebuah panggung besar yang menampilkan acara musik untuk perayaan tahun baru. Aku yakin pelakunya asal memotret lokasi itu karena gambarnya agak miring, sebagian adalah gambar deretan bangunan dan sebagian yang lain panggung musik yang ramai.
Aku menunjukkan gambar itu pada Alex. "Ini pasti lokasinya," kataku mulai berkeringat.
"Kau bercanda? Bagaimana kau yakin?"
"Karena ini dari pembunuhnya. Dia menggunakan HP milik Jenny.
Alex melirik ke HP-ku lagi sambil berkonsentrasi menyetir.
"Aku tahu tempat itu," kata Alex sambil mempercepat lajunya.
***
Kami turun dari mobil dan berjalan di lorong yang penuh sesak. Alex berjalan di depanku sambil mencari celah untuk lewat. Hujan yang semakin deras tidak kami hiraukan. Begitu juga bagi orang-orang yang berkerumun itu. Tampaknya hujan menjadi pemicu adrenalin mereka yang berpadu dengan musik band ternama yang beraksi di atas panggung.
Alex berusaha keluar dari jalur itu dan mencari jalan lain melalui bangunan di samping jalan. Kami memasuki sebuah bangunan perkantoran  setelah memecahkan salah satu kaca jendelanya, lalu menaiki tangga hingga tiba di lantai atas. Setelah mendobrak pintu lantai atas bangunan, kami berhasil sampai di atap.
Atap bangunan itu lebar dan memanjang. Di depan kami terdapat atap bangunan lain yang terpisah oleh gang kecil. Alex melompat dengan lihai ke atap bangunan tersebut. Aku berusaha mengikutinya, tentunya dengan usaha yang jauh lebih besar. Meskipun harus mengorbankan lutut dan sikuku yang dihantam beton atap itu, akhirnya aku berhasil melompat ke bangunan sebelah. Aku berusaha bangkit sambil tertatih.
Kami terus melompati atap-atap bangunan itu satu-demi satu hingga aku yakin kami tiba di tempat pelaku mengambil foto terakhirnya. Alex seperti mencari sesuatu. Ia berputar mencari sebuah suara teriakan di tengah alunan musik yang keras. Matanya berhenti menyelidik ketika ia menatap sebuah karung di belakang tangki-tangki air.
"Tolong!" teriak seseorang di dalam karung. Suaranya memekik habis.
Alex mengeluarkan pisau dan memotong tali pengikatnya. Seorang pria muda tampan, bahkan sangat tampan melongo menatap kami bergantian dengan ekspresi ketakutan. Ia mengenakan kaos dalam berwarna putih dan celana kain yang santai. Tangannya diikat ke belakang membuatnya susah bergerak.
"Bantu aku," kata Alex kepadaku.
Aku mengangkat bahu pria itu, sementara Alex memotong plester di tangannya.
"Siapa namamu?" kata Alex.
"Reno," jawan pria itu pelan.
"Apa yang terjadi?"
"Aku berusaha menolong seorang wanita yang diperlakukan dengan kasar oleh seorang pria. Aku malah dilumpuhkan dan dibawa kesini. Aku berterimakasih kalian telah menolongku."
"Itu pasti Jenny," kataku.
"Apa si pria memakai topi hitam, dan si wanita memakai kaos oblong?" kata Alex.
"Ya," jawab pria itu dengan ekspresi senang sekaligus heran. "Warna abu-abu," lanjutnya.
"Kemana dia membawa Jenny?" kataku tidak sabar.
"Aku tidak tahu pasti. Tapi aku bisa menebaknya, karena ia menyebut 'panggung'. Itu artinya panggung itu, kan?"
Sebuah pesan masuk ke Hp-ku, dari HP milik Jenny.
"Terlalu lamban!"
Hp-ku berdetit kedua kali. Sebuah gambar. Gambar itu pemandangan paling mengerikan dari semua gambar yang dikirim oleh pelaku. Gambar itu berlatar panggung konser musik. Seorang perempuan yang Jelas adalah Jenny, tergantung di atas panggung. Lehernya terjerat tali panjang ke atas atap panggung. Jenny tidak berkutik sedikitpun. Kepalanya tertunduk dengan leher yang terangkat ke atas. Rambutnya yang pendek terjuntai ke depan menutupi wajahnya. Kaos oblong abu-abu dan celana hitamnya seperti berayun-ayun dalam gambar itu. Bersamaan dengan gambar ini dikirim, acara konser terhenti. Terdengar suara gaduh dari penonton dan personil band yang sedang pentas. Namun kejutan itu tidak ada artinya dibandingkan kejutan di jantungku. Jantungku seperti mau meledak. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku meski malam itu cukup dingin dan hujan. Aku terjatuh tidak kuat untuk berdiri. Sepertinya aku tidak bisa merasakan kaki dan tanganku. Lalu tiba-tiba Alex menangkap bahuku. Ia melihat pesan di Hp-ku, kemudian berbisik pelan, "kuatkan dirimu, Eddo! Aku tidak akan membiarkan pembunuhnya lolos! Tidak akan pernah !"
Alex bangkit dan berlari melompati atap bangunan. Aku pun dengan cepat melawan rasa dukaku. Aku bangkit dan berlari. Tidak terasa air mataku menetes mengalir di pipiku bercampur air hujan malam itu.
Kami sampai di bangunan tepat di samping panggung megah itu. Sebuah tali yang menjerat leher Jenny terikat di bangunan ini. Alex dengan cepat memotong tali itu. Seketika tubuh Jenny diturunkan secara perlahan. Aku berpikir itu seperti sebuah penghormatan.
"Periksa dia," kata Alex. Aku akan mengejar pelakunya. Dia berada di sekitar sini.
Aku bersama Reno, pemuda tadi yang kami tolong, turun melalui tangga. Lalu kami berhambur keluar dan menaiki panggung. Aku mendekati tubuh Jenny dan merangkulnya. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku membelai rambutnya dan melihat wajahnya. Aku sangat terkejut untuk kedua kalinya. Namun kali ini adalah perasaan lega. Wanita yang ada di pangkuanku bukanlah Jenny. Aku terdiam sejenak dan berpikir. Aku dan Alex sudah dipermainkan.
"Wanita ini bukan wanita yang aku tolong," kata Reno.
Aku mengangguk dan menatap ke atas bangunan. Hp-ku berbunyi lagi. Itu sebuah foto Jenny yang asli, masih seperti posisi semula hanya saja ia berada dalam sebuah ruangan kecil. Mulutnya tetap di plester dan sepertinya dia sudah siuman. Aku merasa senang. Namun tulisan pesan di bawah gambar itu cukup membuat jantungku berdegup kencang.
Merasa senang?! Jangan dulu karena permainan belum selesai. Waktumu hingga jam 12.00. Jika kau tidak berhasil menemukanku kau akan merayakan tahun baru tanpa gadismu!
Aku melihat jam tanganku. Lima belas menit lagi. Aku bangkit berdiri dan berlari menyusul Alex.
Saat tiba di atap aku mendengar sebuah tembakan agak jauh di barat. Aku segera menuju arah tembakan itu. Setibanya disana, aku melihat Alex sedang mengarahkan pistolnya ke arah seorang laki-laki bertopi hitam. Jaketnya berwana gelap. Penampilan pria itu sama persis dengan Alex. Di tangannya, Ia menodongkan sebuah pistol ke arah Jenny yang didekapnya dari belakang, tepat di bagian pelipis. Pria itu bersembunyi di belakang tubuh Jenny yang terlihat lemas. Aku mengerti, ini situasi krisis.
"Jatuhkan sejatamu, Alex," kata Pria bertopi hitam seraya mengancam dengan mendorong ujung pistolnya ke pelipis Jenny.
Alex terdiam sebentar. "Kau tidak akan bisa lolos kali ini, Rey. Sekian lama aku mencarimu dan akhirnya kita berhadapan kembali. Kenapa kau berani muncul ke permukaan? Heh! Pasti karena kematian kakakmu si Barong, kan?"
Pria bernama Rey itu tertawa.
Tiba-tiba aku melihat Reno berjalan dengan perlahan membelakangi pria itu dan menyergap pistolnya. Posisinya berubah seketika. Reno menodongkan pistol ke arah kepala Rey. Spontan Rey melepaskan Jenny. Jenny segera menyamping mencari posisi aman. Sedangkan Rey tertunduk sambil mengangkat tangannya.
Aku berjalan di belakang Alex mendekati Rey.
Rey tertawa lagi. Aku yakin orang ini agak sinting.
Kejadian berikutnya tidak begitu jelas dan membuatku bingung. Jenny tiba-tiba melompat ke arah Reno dan menyergap pistolnya. Bersamaan dengan itu terdengar suara tembakan disertai peluru yang melesat ke arahku. Alex terjatuh seketika itu juga. Dengan sigap aku merangkulnya dari belakang. Sementara Jenny berkerumul dengan Reno. Dengan cepat aku meraih pistol milik kakakku dan menembakkannnya ke arah Rey. Aku cukup yakin tembakanku mengenai dadanya, nyatanya aku salah. Peluru itu hanya menggores bahu kanannya. Saat itu aku sangat menyesal karena selalu menolak diajari cara menembak oleh Alex.
Rey berguling-guling kesakitan.
Tiba-tiba terdengar tembakan ke dua. Tembakan itu adalah tembakan dari pistol di tangan Jenny ke arah kepala Reno. Aku bisa melihat persisnya saat kepalanya meledak. Darah begitu deras muncrat ke wajah Jenny yang berada di bawah mayat Reno. Aku segera menghampiri Jenny dan membantunya menyingkirkan mayat pemuda itu. Jenny bangkit dan menodongkan pistolnya ke arah Rey yang terkapar. Aku masih melihat senyum keji di bibir pria itu. Lalu aku menghampiri Alex dan memeriksa lukanya.
Tangan kanannnya menepuk pipiku pelan sambil berbisik, "jaket anti peluru," katanya. "Seharusnya kau mau kuajari menembak," tambahnya sambil tersenyum.
"Syukurlah kau tidak apa-apa," kataku.
"Bantu aku berdiri, Ed."
Aku merangkul kakakku dan meletakkan lengannya di bahuku.
Kami menghampiri Jenny yang tampak berantakan, ketika lonceng jam kota berdeting 12 kali. Kegaduhan di panggung konser dan tempat itu masih berlangsung. Beberapa polisi mengurus mayat gadis malang itu. Sedangkan Rey diringkus dan dibawa ke kantor polisi.
***
Ketika aku masuk ke ruangan tempat kakakku dirawat, Jenny menurunkan buku yang sedang ia baca, lalu menoleh ke arahku. Saat itu Jenny sedang duduk sambil membaca sebuah novel di atas sebuah kursi di sisi ruangan. Mulutnya terlihat penuh mengunyah biskuit. Penampilannya jauh lebih bersih dan segar daripada beberapa jam yang lalu.
Sedangkan Alex sedang tiduran di ranjang di tengah ruangan. Kakinya diangkat sambil digerak-gerakkan. Maka aku pun tahu kalau dia tidak tidur meski matanya terpejam.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku pada Alex dan Jenny.
"Apanya?" kata Jenny.
"Kenapa pria bernama Rey itu sangat terobsesi denganmu? Dan siapa sebenarnya pria bernama Reno itu?"
"Kakakmu lebih tahu dari aku mengenai hal itu," kata Jenny melirik Alex. Alex membuka matanya dan susah payah berusaha untuk bangun. Aku membantunya lalu duduk di samping Jenny.
"Bukankah aku sudah memberimu peringatan untuk berhati-hati, Jen?" kata Alex.
Jenny hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum kecut.
"Mungkin kau masih ingat beberapa bulan yang lalu, ketika Jenny berhasil memecahkan kasus internasional itu. Pelakunya adalah Barong salah satu penjahat paling ditakuti di kota ini. Sedangkan Rey adalah adik kandungnya. Reputasinya jauh melampaui kakaknya. Ia adalah mantan rekanku di kepolisian sekaligus musuh bebuyutanku sejak kau masih SMA. Kau juga masih ingat kenapa aku mengirim kalian ke kalimantan beberapa tahun lalu? Itu karena aku khawatir Rey yang mendalangi kericuhan itu. Nyawamu dan Jenny saat itu sedang terancam dan aku tidak mau ambil resiko. Barong dihukum mati setelah tertangkap. Aku pun sadar tidak lama setelah itu Rey pasti mengincar Jenny. Makanya aku mengirim peringatan itu pada Jenny. Ketika kau mengirim foto Jenny yang sedang dibius aku yakin itu adalah perbuatan Rey."
"Lalu siapa pria muda bernama Reno itu?" kataku.
"Jujur saja aku tidak tahu. Jenny lebih tahu hal itu."
"Dia anak buah Rey. Dialah yang membunuh Sofia di kamar Hotel Laguna. Sedangkan wanita yang di dorong dari lantai atas sebuah hotel pasti Rey pelakunya. Karena dia yang membiusku."
"Kalau begitu darimana kau tahu bahwa Reno pelaku pembunuhan pertama itu?"
"Dari resepsionisnya. Namanya bahkan tidak disembunyikan. Nama lengkapnya Reno Kahiwian. Ia menyewa kamar hotel itu dengan KTP asli. Hebatnya penjahat kelas kakap ini, bahkan Elo butuh waktu untuk mencari profilnya."
"Berarti kau sudah tahu pelakunya ketika aku datang menyusulmu?"
"Iya, tapi waktu itu aku tidak tahu bahwa pelakunya lebih dari satu orang. Ketika Reno berpura-pura merebut senjata Rey aku sudah tahu bahwa dia akan mencelakai kalian berdua. Aku terkejut bagaimana pelaku yang aku cari bisa muncul di belakangku dan seakan-akan mau menyelamatkanku."
"Siapa wanita malang yang mengenakan bajumu itu?"
"Namanya Ela, ia gadis yang baik. Aku sempat bertemu dengannya saat kami diculik dan dia berusaha membantuku. Korban kedua aku belum mengetahui siapa. Nanti Pak Kepala akan menginformasikannya padaku."
Aku bersyukur, di pagi hari ini, aku dan Jenny masih selamat dari serangan maut itu. Sedangkan Alex harus menerima perawatan di rumah sakit selama satu hari, sebelum akhirnya diperbolehkan pulang. Istri dan anaknya berkunjung pagi itu setelah aku dan Jenny hedak pergi.

No comments:

Post a Comment