Wednesday 31 August 2016

Detektif Jen : Misteri di Tengah Samudera

CERPEN DETEKTIF JEN : Kalau melihat-lihat catatanku kembali mungkin kisah ini yang paling cocok aku publikasikan saat ini.
Kejadiannya sudah beberapa tahun yang lalu tepatnya di awal 2010. Saat itu aku dan pacarku Jenny, sedang melakukan perjalanan laut menuju Kalimantan.
Jennu berparas oriental dengan mata agak sipit penuh selidik. Rambutnya sebahu membingkai wajahnya yang oval. Secara keseluruhan ia adalah wanita yang cantik dan lucu. Tingkahnya kadang kekanak-kanakan dan polos. Cerdas jelas! Suka dengan cerita detektif dan misteri, baik berupa film atau buku, bahkan sebenarnya dia sangat maniak.
Walaupun sudah menjadi pacarku, sebenarnya hubungan kami sedikit kaku dan malu-malu untuk saling mengungkapkan rasa. Aku menjalani hubungan ini dengan sedikit menutupi perasaanku, karena aku tahu Jenny adalah wanita yang juga pandai menyembunyikan perasaan cintanya, sedikit cuek namun manja dan penyayang. Aku sudah memahami karakternya meski tanpa aku paksakan. Dia memang cocok bagiku yang tipe pendiam.
Aku tidak menjelaskan tujuan kami pergi ke pulau Kalimantan karena beberapa pertimbangan. Aku harap ini tidak mengurangi minat pembaca. Mungkin suatu hari nanti aku bisa menceritakan hal-hal yang terjadi pada kami sebelum akhirnya kami terpaksa meninggalkan pulau Jawa.
Perjalanan itu merupakan perjalanan laut pertama kali bagi kami. Namun pengalamannya sungguh tidak terlupakan.
Hari pertama di bulan Agustus kami sedang duduk dalam kabin kami. Kabin itu sempit. Ada dua buah tempat tidur bertingkat sebelah kanan pintu, dan kursi kecil di sisi yang lain.
Cuaca di luar sedang tidak bersahabat karena hujan dan angin di bulan Agustus. Jenny duduk tepekur sambil menaikkan kakinya ke tempat tidur. Sedangkan aku bersandar di kursi sambil menatap Jenny. Dia menyeruput teh panas dengan perlahan.
"Bagaimana? Sudah mendingan?" tanyaku sedikit khawatir.
"Aku tidak tahu bahwa aku akan mabuk laut, terimaksih Eddo," katanya.
"Kau akan mendingan setelah menghabiskan tehmu," ujarku lagi. Aku berusaha untuk menenangkannya.
Kami diam sebentar...
Jenny kembali menyeruput tehnya. Aku berdiri menghampirinya dan membelai rambutnya.
"Tubuhmu akan terbiasa dengan gelombang laut," tambahku. "Aku akan keluar sebentar. Kau butuh makan. Aku juga sudah merasa agak lapar."
Jari tanganku bergerak turun dan menyentuh pipinya dengan lembut. "Tunggu sebentar," senyumku. Ia membalas tersenyum sambil mengangguk.
Aku membuka pintu kabin. Serentak angin mengeroyok tubuhku seakan membantingku ke dinding. Aku menyipitkan mata untuk mencari arah pandangku. Langit begitu gelap dengan awan pekat. Hujan sesekali menerpa wajahku. Aku mulai melangkah perlahan menelusuri koridor. Tanganku meraba-raba dinding koridor, berusaha berpegangan untuk menjaga keseimbangan.
Aku sempat melihat gulungan ombak di tengah laut saat kilat menyambar. Semakin lama gelombang semakin besar. Perlahan, ombak itu bergulung-gulung dan tiba-tiba terdengar suara debuman keras menghantam kapal kami. Seketika itu juga kapal kami bergoyang, terombang-ambing tak berdaya.
Aku mulai sedikit takut.
Lama aku menyusuri koridor yang gelap, sampai tiba di kantin kapal. Beberapa orang tampak tenang namun terlihat menggigil, duduk di kursi-kursi kayu. Aku menghampiri orang di belakang meja kasir.
"Bisakah aku pesan makanan?" tanyaku.
Kasir itu bertubuh kurus dan berpostur sedang. Wajahnya pucat dan memiliki kantung mata besar. Bibirnya tebal dan gemetar karena dingin.
"Tentu!" jawabnya sambil menggosok-gosok tangannya. "Mau pesan apa?" Dia balik bertanya.
"Rawon, sop atau bakso. Terserah," kataku. "Yang penting berkuah dan panas," lanjutku segera.
Orang itu segera pergi ke belakang. Aku pun memutar badanku dan mencari tempat duduk. Aku naikkan leher jaketku hingga pipi. Angin malam itu sungguh kencang dan dingin. Aku memasukkan tangan ke dalam saku dan duduk sambil melamun.
Beberapa menit kemudian pesananku selesai. Aku segera kembali menemui Jenny di kabin.
Aku dapati dia sedang tidur dan tampak lemas. Aku masuk dengan perlahan dan segera menutup pintu. Aku tidak mau angin malam mengganggu tidurnya. Toh, akhirnya aku terpaksa membangunkannya.
"Jen," panggilku sambil memegang keningnya. Aku tau dia tidak tidur pulas karena mabuk laut. Seketika Jenny membuka matanya. Ia menyipitkan pandangannya padaku.
"Makanlah agar kau mendingan," pintaku padanya.
Reaksinya hanya menutup matanya kembali dan tidak peduli denganku. Aku menghela nafas panjang. Karena aku mengerti dia sedang tak enak makan. Aku pun tak memaksa.
Aku duduk di kursi dan makan sop milikku dengan perlahan. Aku sebenarnya tak begitu berselera. Namun aku tetap berusaha menikmatinya. Suap demi suap aku lahap sambil sesekali melamun atau memikirkan Jenny yang terkapar di depanku.
Malam itu berlalu tanpa sepotong makanan pun masuk ke dalam perut Jenny. Pagi hari ketika aku bangun aku lihat Jenny sedang makan sop tadi malam. Sungguh betapa senangnya aku menyaksikan pemandangan itu. Spontan aku tersenyum walau kantuk masih terasa di mataku.
"Bagaimana keadaanmu, Jen?"
"Aku sudah mendingan. Jangan terlalu khawatir," ujarnya sedikit mengejek. "Sedikit pusing tapi perutku jauh lebih parah. Lapar banget!!!" ujarnya setengah bercanda.
Aku tertawa sedikit. "Syukurlah," kataku.
Kapal itu tampak sepi, tidak banyak penumpangnya, mungkin karena bulan Agustus. Cuaca biasanya berangin di bulan-bulan akhir tahun. Meski demikian, pagi itu cuaca cukup terang walaupun masih sangat dingin. Hujan semalam memberi rasa segar di udara. Suasana pagi itu lebih baik dari pada tadi malam. Setidaknya hingga saat itu. Keadaan Jenny mulai membaik. Kami sedikit bersantai duduk di luar kabin sambil menikmati pemandangan yang cerah. Segelas kopi hangat kugenggam dengan erat di jariku. Sedangkan Jenny duduk bersandar di bahuku. Tangannya memeluk lengan kiriku. Jaket tebal menyelimuti tubuhnya, membuatnya nyaman. Senyumnya indah terukir di wajahnya meski matanya masih terpejam. Bagiku itu adalah pemandangan terindah saat itu.
Matahari mulai tampak, terasa hangat menyentuh wajahku yang sedikit kusam. Sesekali aku memalingkan wajahku karena silaunya.
Tak lama dari itu, sayup-sayup aku mendengar orang berteriak. Rasanya agak jauh di belakang kapal. Beberapa orang di dekatku mulai berdiri dan berlari menuju suara teriakan itu. Aku dan Jenny pun mengikuti di belakang mereka.
Sungguh mengejutkan apa yang kami lihat di ujung koridor. Sesosok laki-laki kurus dan jangkung terbujur kaku di lantai. Di dadanya, tepat di bagian jantung, tertancap sebuah pisau kecil. Darah merembes di kaosnya yang cerah hingga lantai kapal. Aku tidak tahu pasti orang itu masih hidup atau sudah mati. Beberapa orang sedang memeriksa nafas dan nadinya. Namun dari reaksi mereka tampaknya korban sudah meninggal. Mereka saling beradu pandang kebingungan.
Jenny langsung melepaskan genggaman tanganku dan mendekati mayat itu. Ia membungkuk dan memperhatikan bagian dada korban. Ia memeriksa semua saku korban dan menemukan dompetnya. Isinya adalah kartu identitas dan uang 10 lembar 100 ribuan, dan beberapa uang receh. Sebentar kemudian ia berdiri sambil melihat jam tangannya.
"Siapa yang pertama kali melihatnya?" tanyanya pada semua orang di sana. Aku agak khawatir dengan tingkahnya. Jelas ini tindak kejahatan. Aku takut ini malah membahayakan Jenny.
Seorang gadis muda mendekat. Ia masih menagis karena shock.
"Aku," jawab gadis itu.
"Apa kau mengenal pria ini?" tanya Jenny layaknya seorang detektif.
Karena agak takut, aku mendekatinya dan menarik lengannya.
"Jen, berhentilah! Kita laporkan saja pada kapten kapal," kataku.
Namun Jenny tetap bersikeras ingin mendengar jawaban gadis itu.
"Ya, dia adalah temanku. Namanya Dodit. Kami semua berlima, Dika, Siska, Robet dan aku, sheila," jelas gadis bernama sheila itu sambil menunjuk orang-orang yang ia sebutkan namanya. Semua orang yang ditunjuk Sheila masih muda sekitar dua puluh tahunan. Mereka tampak shock dan ketakutan.
Sheila berwajah cantik, berambut sebahu. Penampilannya seperti anak kuliahan. Sepertinya dia adalah gadis yang cerdas.
Dika bertubuh sedang dan tampan. Dia seperti tokoh utama dalam film. Penampilannya keren dengan jaket kulit berwarna krem yang ia pakai. Leher jaketnya menutup hingga bawah telinga.
Siska berambut pendek. Sangat menarik. Wajahnya unik dan manis. Tatapannya penuh kejelian dan sepertinya dia orang yang teliti. Itu pendapatku ketika pertama kali melihatnya.
Sedangkan Robert berambut ikal dan penampilannya agak awut-awutan. Ia satu-satunya yang hanya mengenakan kaos oblong. Walaupun cuaca pagi itu cukup dingin.
Korban sendiri bernama Dodit. Fisiknya sudah kujelaskan tadi. Namun dari bajunya aku yakin dia orang yang kuat dan sombong. Itu karena kaos cerah tak berlengan yang di kenakannya serta jeans-nya yang berlubang di bagian lutut, layaknya seorang preman. Wajahnya mengerikan dan penuh ketakutan.
"Dengar, Jen. Lebih baik kita tidak ikut campur. Ini adalah tugas orang lain. Bukan kamu, yang hanya karena sangat terobsesi oleh novel-novel misteri, lalu bisa menangani kasus kejahatan asli seperti ini," ujarku mulai sedikit jengkel. Aku sambil menyeret lengannya ke samping dan menjauhi mayat korban.
"Tolong tutupi mayat korban," ujar Jenny pada Sheila. "Salah seorang kalian harus melapor ke kapten kapal sekarang. Cepatlah!" perintah Jenny.
Selain kami berenam ada juga dua orang laki-laki tua dan seorang perempuan setengah baya yang tadi duduk di dekat aku dan Jenny. Merekalah yang pertama berlari menuju arah teriakan Sheila. Aku tidak perlu merinci fisik mereka karena jelas mereka bukan tersangka. Dan ketika kami tiba di TKP ke lima tersangka yaitu teman korban sendiri, sudah berada di tempat kejadian sedang memeriksa korban.
Dengan tanpa bertanya lagi Robet segera melapor ke kapten. Tak lama kemudian kapten kapal beserta beberapa kru datang melihat mayat itu. Ia berjongkok dekat kepala korban. Kain penutup dibuka sedikit oleh sang kapten. Terdengar seruan ngeri dari para kru kapal.
Lalu sang kapten segera menutupnya kembali.
"Pindahkan mayatnya," perintahnya pada anak buahnya. Sebagian dari mereka kembali membawa tandu. Sebentar kemudian mayat itu sudah dipindahkan.
Kapten menanyakan beberapa hal pada kami. Siska dan Dika tidak begitu banyak bicara. Hanya Robet dan Sheila yang aktif menjawab.
Selang beberapa saat, Jenny kembali bertingkah. Mungkin itu pertanda baik karena ia sudah tidak mabuk laut lagi. Ia menghampiri sang kapten dan berbicara pelan.
Aku menebak sang kapten begitu antusias dan setuju dengan yang disampaikan Jenny. Aku juga melihat Jenny memperlihatkan dompet korban kepada kapten. Kapten itu memeriksanya sebentar lalu memperhatikan ke empat orang tersangka satu per satu. Wajah shock masih terlihat di mata mereka.
"Aku harap masing-masing dari kalian bisa memberikan kesaksian yang sebenarnya," kata sang kapten dengan nada tegas dan sedikit ditekan. "Mengingat di kapal ini tidak ada petugas yang berwajib yang bisa menangani kasus ini. Kalian akan memberikan keterangan dan akan di amankan di ruang khusus sampai kapal ini berlabuh. Selanjutnya saya akan serahkan kasus ini pada polisi," lanjut sang kapten sambil mengatur nafasnya.
Kapten itu berwajah wibawa. Kumisnya sudah sedikit beruban. Kerutan di dahinya menggambarkan tekadnya sebagai seorang kapten. Bahunya lebar dan berbadan tegap. Bajunya rapi dan sikapnya tegas. Perhatianku sempat teralih padanya beberapa saat. Aku mulai tersadar saat sang kapten mengikuti mereka ke kabin mereka. Maka Aku dan Jenny serta beberapa orang yang lain mengikutinya di belakang. Aku melangkah melewati bekas darah korban namun enggan untuk melihat ke lantai.
"Saya minta agar anda semua yang tidak berkepentingan untuk tidak mengganggu penyelidikan. Silahkan kembali ke kabin masing-masing."
Beberapa dari kami kecewa dan bergegas pergi, namun tidak dengan Jenny. Ia tetap tinggal meski aku memberi isyarat untuk pergi. Akhirnya aku pun terpaksa menemaninya. Kini tinggal aku, Jenny, sang kapten dan dua anak buahnya yang ikut memeriksa kabin ke empat teman korban.
"Sebelah mana kamar kalian?" tanya sang kapten.
"Yang ini," jawab Sheila. Bekas air matanya masih tersisa.
Dika membuka pintu kabin itu dan masuk ke dalam. Kapten dan anak buahnya menyusul. Jenny pun ikut masuk ke dalam kabin itu. Sedangkan aku memilih menunggu di koridor bersama tiga tersangka lain.
Beberapa saat kemudian aku mengintip ke dalam. Kabin itu lebih luas dari pada kabinku dan Jenny. Ada tiga tempat tidur susun. Dua di sebelah kanan, dan satu di sisi yang lain. Sebuah lemari berdiri berhadapan dengan pintu masuk. Hanya itu. Namun tas dan ransel mereka berserakan di lantai dekat tempat tidur masing-masing.
"Dimana tempat tidur korban?" tanya Jenny kepada Dika. Dika menunjuk salah satu tempat tidur sebelah kiri bagian bawah.
"Lalu siapa yang di atasnya?" Lanjut Jenny bertanya.
"Itu tempat tidur Sheila," jawab Dika.
"Dan yang lain?"
Dika berbalik.
"Itu yang bawah sebelah kanan adalah tempat tidurku. Yang atas adalah Siska. Sedangkan yang pojok bawah adalah tempat tidur Robet. Yang di atasnya kosong. Kami hanya berlima."
"Kau ada dimana satu jam yang lalu?" tanya Jenny.
"Kami sedang tidur. Bahkan aku tidak tahu bahwa Dodit keluar dari kabin."
"Tolong panggil semua temanmu," kata sang kapten.
Mereka bertiga masuk ke dalam kabin. Aku dan dua kru kapal ikut masuk ke dalam.
"Bisakah kalian menceritakan kronologis kejadiannya?" tanya sang kapten.
Mereka saling memandang. Kemudian Sheila mulai bicara.
"Kami sebenarnya tidak tahu apa-apa, Pak Kapten!" jawabnya. "Yang saya tahu jam 6.50 tadi pagi saya bangun dan Dodit sudah tidak di tempat tidur. Saya keluar karena mau ke kamar mandi. Kamar mandi ada di ujung koridor sebelah kiri. Selesai dari kamar mandi saya kembali ke kabin. Dodit juga belum datang. Saya pikir dia sedang membeli sarapan. Jadi saya pergi ke koridor sebelah kanan untuk menyusulnya ke kantin. Alangkah terkejutnya saya karena melihat seseorang terlentang tepat di sudut koridor itu. Darah masih mengalir saat itu. Saya tahu itu Dodit karena kaos yang dipakainya. Saya berteriak sekuat tenaga. Hampir saja saya jatuh pingsan seandainya saya tidak segera memalingkan wajah. Lalu teman-teman saya datang menghampiri saya. Dika yang pertama kali dan langsung memeriksa keadaan Dodit..."
"Tunggu, tunggu!" kata Jenny memotong. "Siapa yang pertama kali mendengar jeritan Sheila?"
"Aku," jawab Dika. "Aku membangunkan mereka sesudah mendengar Sheila berteriak."
"Silahkan lanjutkan ceritamu, Sheila," kata Jenny.
"Kemudian Robet juga datang membantu. Saya ditopang oleh Siska yang menyusul kami belakangan. Kami semua panik. Saat itu anda, Nona dan beberapa orang sudah berkerumun bersama kami. Itu saja yang saya tahu."
Jenny dan kapten itu berpikir sejenak.
"Berarti pelakunya adalah orang luar," kata sang kapten.
"Tidak, Kapten!" kata Jenny memotong. "Memang ada kemungkinan seperti itu. Kalau orang lain yang melakukan pembunuhan ini berarti ada motif lain seperti perampokan. Kecuali ada orang lain di kapal ini selain mereka berempat, yang mengenal korban dan memiliki dendam pada korban."
"Apakah anda seorang polisi?" tanya kapten heran.
"Bukan kapten, tapi kakak pria itu adalah seorang detektif polisi." Jenny menunjuk ke arahku. Aku sedikit gerogi karena semua orang menatapku. "Dan saya sering membantu kakaknya." Jenny melanjutkan.
"Jadi bagaimana menurut anda, Nona... siapa?" Kapten hendak memanggil nama Jenny.
"Jenny..." jawab Jenny.
"Nona Jenny? Menurut anda mereka adalah satu-satunya tersangka?"
"Terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan sekarang, Kapten." Jenny kembali menghadap ke empat tersangka.
"Jadi... adakah orang lain di kapal ini yang mengenal korban?"
Mereka beradu pandang. Siska menjawab, "tidak ada, Nona. Kami semua berteman dan ingin melakukan petualangan. Kami berangkat dari Surabaya dan ingin menyeberang ke Kalimantan melalui jalur laut karena lebih menyenangkan."
"Begitu, ya? Jika bukan perampokan, maka pelakunya adalah salah satu dari kalian." Ucapan itu begitu spontan.
Mereka bergumam tidak jelas mendengar penjelasan Jenny. Mereka tampak tidak percaya bahwa salah satu teman mereka adalah seorang pembunuh.
"Sekarang, bisakah aku melihat barang-barang korban?"
"Itu sebelah sana," tunjuk salah satu dari mereka.
Jenny dan kapten mendekat dan memeriksa tas serta ransel korban. Isi tas dan ransel itu tidak ada yang menarik atau pun aneh. Hanya baju-baju dan peralatan camping seperti tenda kecil, senter, peralatan mandi, beberapa majalah traveling dan perlengkapan P3K.
"Apakah korban tidak memiliki handphone?" tanya Jenny.
"Tentu saja ada," jawab Siska.
"Tapi aku tidak menemukannya," kata Jenny sambil memeriksa tempat tidur korban namun tak menemukan apa-apa.
"Kami harus memeriksa barang-barang milik kalian," katanya lagi.
Aku memperkirakan sekitar 20 menit Jenny beserta kru kapal, anak buah sang kapten itu, memeriksa tas ke empat tersangka. Namun mereka tampaknya tidak menemukan benda mencurigakan. Handphone milik korban pun belum ditemukan.
"Nah, bagaimana?" ujar sang kapten.
"Kami tidak menemukan apa-apa," jawab salah seorang kru.
"Periksa juga hp mereka," kata sang kapten.
Lama mereka memeriksa hp ke empat tersangka.
"Bagaimana?"
"Tidak ada, Pak. Semua panggilan, pesan dan lain-lain hanya chat biasa, tidak ada yang mencurigakan."
Kru itu diam sebentar.
"Apa mungkin korban di bunuh karena di rampok lalu hp korban di bawa kabur pelaku?"
"Kalau begitu, harusnya dompet korban juga akan hilang," jawab Jenny tegas. "Sheila, bisakah kau menelpon nomor hp korban?" pinta Jenny.
Sheila tampak sibuk dengan hp-nya beberapa saat.
"Tidak aktif!" katanya.
"Kapan terakhir kalian melihat korban masih hidup?"
"Tadi malam kira-kira jam sepuluh, tepat saat kami mau tidur," jawab Robet.
"Sebenarnya tidak juga," kata Siska. "Aku tadi pagi terbangun dan langsung melihat jam di hp-ku. Saat itu jam 6.30. Dodit masih tidur di tempat tidurnya. Tempat tidurnya, kan berhadapan dengan tempat tidurku. Aku bisa melihat Sheila di tempat tidur atas sedangkan Dodit di bawahnya. Aku tidak bisa melihat Dika yang tidur di bawahku dan Robet yang berada sejajar dengan tempat tidur Dika. Jadi aku tidak tahu mereka berdua ada ditempatnya atau tidak. Aku tidak peduli  lalu sebentar kemudian aku tidur lagi karena cuaca begitu dingin."
"Tentu saja aku masih tidur," jawab Robet ketus.
Jenny berdeham.
"Siska bangun jam 6.30 dan Dodit masih berada di tempat tidurnya," kata Jenny seperti berpikir. "Sedangkan Sheila bangun jam 6.50 dan Dodit sudah tidak ada di tempat tidurnya. Aku sudah mencocokkan jam di hp kalian berdua tadi dan ternyata jam-nya menunjuk angka yang sama. Itu artinya korban dibunuh antara jam 6.30 sampai jam 6.50. Aku tiba di TKP jam 7. Berarti sekitar 10 menit sebelum akhirnya Sheila menemukan korban. Kecuali Sheila sendiri adalah pelakunya pada jam 7."
"Mana mungkin aku?" sanggah Sheila sedikit kaget.
"Aku bukan menuduhmu, Sheila, tapi segala kemungkinan tetap bisa terjadi. Lalu apa kalian tahu milik siapa pisau yang digunakan untuk membunuh korban?"
"Aku yakin itu milik Dodit sendiri. Aku sempat melihat pisau itu tadi. Persis milik Dodit, ia biasa membawa pisau itu tiap kali pergi berpetualang," jawab Dika.
"Dimana ia biasa menyimpannya?"
"Biasanya di dalam ranselnya, bersama peralatan camping-nya."
"Tidak mungkin salah satu dari kami pelakunya. Mungkin orang lain," kata Robet. "Kami semua berteman akrab dengan korban," tambahnya lagi.
"Iya, itu benar," kata Sheila.
"Dan saat kejadian kita semua ada di kabin ini sedang tidur," tambah Dika menguatkan.
"Justru karena kalian sedang tidur, tidak satupun dari kalian memiliki alibi yang kuat," kata Jenny.
"Belum lagi jika ternyata kalian berkomplot," tambah sang kapten.
"Dan setiap kalian sama-sama memiliki kesempatan untuk membunuh korban tanpa sepengatahuan teman yang lain," Jenny menambahkan.
"Dari pada curiga pada kami, mending kalian mencari pembunuhnnya di luar sana. Dia pasti masih memiliki hp milik Dodit," jelas Dika sedikit ngotot.
Aku lihat Jenny menggelengkan kepala sambil tersenyum manis. Ekspresinya begitu khas. Aku tidak pernah melihat wajahnya dengan ekspresi demikian sebelumnya.
"Itu tidak mungkin," katanya. "Aneh kan jadinya, kalau pelakunya adalah orang luar? Dari mana dia mendapat pisau korban? Apa kebetulan saja Dodit sedang membawa pisau lalu ada orang mau merampoknya, merebut pisaunya lalu menikamnya?"
"Mana kami tahu?" kata Dika. "Mungkin saja Dodit sedang membawa pisaunya kemudian dia bertengkar dengan seseorang lalu mengeluarkan pisaunya tapi malah dia sendiri yang tertikam."
"Bagiku tetap aneh jika begitu," jawab Jenny. "Lalu kemana hp korban? Kalau begitu, seharusnya pelaku tinggal melarikan diri. Tidak perlu repot mengambil hp korban dengan maksud menyembunyikannya. Dan alasan yang kuat kenapa hp korban hilang adalah karena di dalam hp itu ada pesan atau panggilan yang akan mengarahkan pada pelaku. Sedangkan si pelaku tinggal menghapus histori pesan dan panggilan pada jam 6.30 hingga jam 6.50 di hp-nya sendiri."
"Kalau begitu kenapa pelaku tidak menghapus histori panggilan dan pesan milik Dodit juga sekalian," tanya Siska.
"Karena dia tidak sempat melakukan itu. Dia harus menyingkirkan bukti secepat mungkin. Apa lagi kalau hp korban di proteksi dengan password, itu butuh waktu lama. Tapi bagaimana pun aku akan memeriksa mayat korban kembali. Dan Kapten, sebaiknya kamar ini dan koridor depan di isolasi sehingga tidak ada orang yang merusak TKP. Ke empat tersangka ini juga harus dipindah ke ruang khusus," kata Jenny.
Sang kapten hanya menyetujui saja apa yang dikatakan Jenny.
***
Jenny membungkuk di depan mayat itu, ketika kami berada di ruang khusus. Ke empat tersangka sudah dipindahkan ke kabin lain dan di awasi oleh salah seorang kru kapal. TKP juga dijaga ketat oleh dua kru kapal. Kini tinggal aku, Jenny dan Kapten berada di ruang menyeramkan itu. Aku sebenarnya sedikit takut melihat mayat, tapi bagi Jenny itu seperti sebuah suntikan semangat. Ia memeriksa tangan, jari dan kuku korban dengan bantuan senter dan kaca pembesar.
Jenny mengambil sapu tangan dan menarik pisau itu secara perlahan.
"Ada dua bekas luka tusukan di jantung korban," katanya.
"Apa artinya?" tanya sang kapten.
"Korban sempat melakukan perlawanan, baru pada tusukan kedua ia terjatuh."
"Benar-benar sadis," kata kapten.
"Pelakunya bertangan kanan dan berlengan kuat. Ia memegang pisaunya secara terbalik. Pasti seorang laki-laki," jelas Jenny.
Kami hanya mengangguk.
Jenny memperhatikan pisau itu menggunakan kaca pembesar dengan seksama. Namun tampaknya dia tak menemukan apa-apa lagi.
Kami sudah selesai memeriksa mayat korban, ketika seorang kru mendatangi kapten.
"Ada seorang anak muda ingin bertemu dengan anda, Kapten. Katanya ini berkaitan dengan kasus pembunuhan itu," kata kru itu.
Sontak aku dan Jenny bergegas mengikuti kapten keluar.
Pemuda itu berpenampilan santai. Rambutnya rapi. Wajahnya pucat dan dari gelagatnya dia sedang shock.
"Bisakah anda melindungi saya jika saya memberi informasi ini," katanya.
"Tentu," jawab kapten. "Apa yang ingin anda sampaikan?"
"Oh, ya Tuhan. Aku melihat pembunuhan itu, Pak Kapten. Bisakah saya meminta air."
Ia duduk di kursi dan meminum air yang diberikan oleh seorang kru.
"Siapa pelakunya, anak muda?" kata sang kapten tidak sabar mendengar jawabannya, sama halnya denganku dan Jenny.
"Saya tidak tahu. Saya sedang duduk dibalik koridor tepat dibalik tempat kejadian itu. Tiba-tiba terdengar suara benturan keras ke lantai tidak seperti bunyi ombak atau bunyi mesin kapal. Lebih mirip sesuatu yang berat jatuh ke lantai. Saya tahu itu brasal dari belakang tempat saya duduk. Jadi saya naik ke atas kursi dan mengintip melalui celah kecil. Alangkah kagetnya saya karena melihat darah di bagian dada seseorang. Saya tidak melihat wajah pelakunya. Tapi dia mengenakan kaos berwarna merah. Saya melihatnya membuang sesuatu ke laut. Penglihatan saya terbatas dan tidak bisa melihat seperti apa tubuhnya. Saya tiba-tiba lemas dan hampir pingsan, Pak. Karena jantung saya memang lemah. Bahkan hingga sekarang jantung saya masih berdebar-debar. Butuh keberanian untuk memberikan keterangan ini. Bahkan, saat ada seorang wanita berteriak pun saya tetap tak berkutik dari tempat saya semula."
"Kira-kira berapa tingginya?" tanya Jenny.
"Saya tidak tahu, Nona. Sudut pandang saya dari atas, jadi sulit mengira-ngira."
"Kau bisa mengukur dengan benda disekitar korban. Cobalah untuk mengingatnya," desak Jenny.
Orang itu diam sebentar dan berpikir.
"Aku ingat, ketika orang itu membuang sesuatu di pinggir kapal, rambutnya menyentuh besi kapal yang seperti ini," jawab orang itu sambil menunjuk besi samping kapal.
Jenny sangat senang. Ia langsung menoleh ke arah kapten.
"Anda punya meteran?" tanya Jenny dengan wajah berbinar-binar. Seorang kru mengambilkan alat yang diminta Jenny. Lalu mereka pergi ke TKP.  Jenny di bantu seorang kru mengukur tinggi besi pembatas yang di maksud.
"172 cm," katanya. "Itu tinggi pembunuhnya. Dan dia mempunyai kaos warna merah seperti yang di jelaskan saksi tadi. Satu hal lagi, dia memiliki bekas luka dibagian lengan kiri. Dan coba kesini sebentar." Jenny mengajak kami ke kabin para tersangka. "Silahkan anda masuk, yang lain tunggu di ujung koridor tempat korban terbunuh," katanya. Seorang kru disuruh menunggu di dalam kabin sedangkan Jenny, kapten, seorang kru dan aku sendiri berada di TKP. "Sekarang coba kau berteriak sekuat tenaga, panggil temanmu di dalam kabin," ujar Jenny.
Kru itu melakukan yang di perintah Jenny. Kami menunggu kru yang di dalam kabin, tapi tak kunjung datang sehingga akhirnya kami menghampirinya. Setelah ditanya ternyata dia tidak mendengar temannya memanggil.
"Nah kapten, bukankah sudah jelas siapa pelakunya?" kata Jenny. "Aku sudah tahu sejak awal tapi bukti yang aku butuhkan belum lengkap, maka aku tidak buru-buru sambil mengikuti kemana petunjuk membawaku."
Rincian dan demonstrasi yang dilakukan Jenny membuatku bingung. Seperti halnya aku, sang kapten dan para kru pun tampaknya juga masih bingung bagamana Jenny mengambil kesimpulan.
"Apa anda yakin?" tanya kapten.
"Ya, sebaiknya anda segera mengamankan pelakunya, Kapten. Ayo kita pergi ke ruang khusus mereka."
Saat kami bertiga masuk ke dalam ruangan, ke empat tersangka bangkit dari posisinya dan berdiri menghampiri kami.
"Bagaimana, Kapten? Anda sudah menemukan pelakunya?" tanya Dika.
"Bukan saya, tapi Nona Jenny sepertinya sudah tahu siapa pelakunya dan kami akan mengamankannya, benar begitu, Nona?"
"Ya, benar. Kasus ini sebenarnya sangat sederhana."
"Lalu siapa pelakunya?" tanya Dika.
"Sebelumnya akan kujelaskan kronologis kejadiannya. Tadi pagi antara jam 6.30 sampai jam 6.50 pelaku bangun dan mengambil pisau kecil di ransel korban lalu membangunkan korban dengan perlahan. Mungkin sebelumnya pelaku sudah meminta korban untuk bertemu di luar kabin melalui sms. Ketika sampai di koridor, mereka bertengkar lalu terjadilah pembunuhan itu.  Korban saat itu membawa hp-nya. Sehingga sesudah membunuhnya, pelaku membuang hp itu ke laut. Seandainya hp itu ada di dalam tas korban,  pasti pelakunya akan membuangnya di kesempatan lain ketika mayat korban di temukan seseorang. Ketika mereka bertengkar, korban sempat melawan dan mencakar lengan pelaku sebelah kiri. Aku melihat ada bekas kulit terkelupas di kuku tangan kanan korban. Seorang saksi walaupun tidak sempat melihat wajah pelaku mengatakan bahwa pelakunya adalah seorang pria berkaos merah, sedang membuang sesuatu ke sisi kapal. Sesuatu itu aku yakin adalah hp korban dan sarung tangan yang dipakainya. Aku tidak bisa melihat bekas sidik jari pada gagang pisau itu padahal gagangnya terbuat dari logam. Itu artinya pelaku memakai sarung tangan, cuaca yang dingin tidak aneh untuk memakai sarung tangan, bukan? Kita tahu tinggi badan pelaku berkat kesaksian orang tadi. Jadi, sekarang kita tahu bahwa pelakunya adalah teman korban, pria dengan tinggi 172 cm memiliki kaos merah yang mungkin sampai sekarang ia tidak sempat menggantinya, dan ada bekas luka cakaran di lengan kirinya. Untuk menutupi bekas luka dan kaos merahnya ia menggunakan jaket dan dia adalah orang yang bangun pertama kali saat mendengar Sheila berteriak. Aku sudah mengujinya. Dia berbohong tentang hal tersebut, karena orang di dalam kabin tidak dapat mendengar teriakan orang lain dari TKP."
Semua orang di dalam ruangan mengerti siapa yang dimaksud Jenny. Mata kami semua menatap Dika. Dika jadi sedikit salah tingkah. Senyumnya tersungging tertahan. Lalu ia tertawa kaku. Kami hanya menatapnya dengan heran.
Ia berhenti tertawa lalu berkata, "itu omong kosong! Kau tidak bisa menuduh orang sembarangan begitu."
Jenny tersenyum santai.
"Bisakah kau lepaskan jaketmu?" katanya.
Pria itu tertunduk. Sesekali pandangannya menengadah ke langit. Perlahan wajahnya berubah dari marah menjadi sedih kemudian air mata mengalir di pipinya. Aku lihat emosinya begitu kuat sampai ia tidak mampu menahannya. Kemudian ia terjatuh berlutut dan menangis tersedu. Ia terus menangis sampai kami yang melihatnya beradu pandang tidak mengerti. Sheila menghampirinya dan mengusap bahunya.
"Sudahlah..." serunya perlahan.
Suasana menjadi hening. Aku melihat air mata Dika menetes di lantai.
"Bajingan itu, sudah melecehkan adikku," Dika akhirnya berbicara. "Sungguh menyakitkan apa yang sudah ia lakukan pada adikku. Aku tidak akan mengampuni orang seperti dia. Aku sudah selesai. Aku sudah menghabisi bajingan itu dan sekarang adikku bisa melanjutkan hidupnya. Perjalanan ini adalah rencanaku dan tujuan sebenarnya adalah menghabisi bajingan itu. Dodit tahu bahwa aku mengincarnya, jadi aku sudah mengirim pesan peringatan melalui sms tadi malam. Ia pasti takut tapi tidak menyangka aku akan menghabisi nyawanya. Rasa bersalahnya membuatnya tidak berdaya kecuali hanya mampu menuruti kemauanku."
Dan begitulah kisah itu berakhir. Dua hari sesudahnya, kami tiba di pelabuhan Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Dika diamankan di kepolisian setempat. Teman-temannya juga ada disana sebagai saksi. Sedangkan aku dan Jenny melanjutkan perjalanan kami. Banyak hal yang kami dapat dari kejadian itu. Terutama bagiku. Mungkin sebaiknya aku menjauhkan Jenny dari segala hal yang berbau kriminal. Walau aku tahu aku tidak dapat mencegahnya.

2 comments:

  1. Panjang bangettt.... ehehehe
    bagus kelihatannya *belum sempat baca

    ReplyDelete
  2. 👏👏👏 bagus seperti membaca atau menonton detektif conan.. ❤

    ReplyDelete