Thursday 8 September 2016

Detektif Jen : Misteri Ruangan Tertutup

CERPEN DETEKTIF JEN : "Bisakah kau berhenti dulu?" kataku.
Jenny menurunkan buku yang dibacanya. Lalu tampak lah wajahnya yang sedang serius membaca novel kesukaannya.
"Apanya?" katanya balik bertanya seakan tidak mengerti maksudku. Aku yakin pikirannya masih tertuju pada buku, walaupun ia sedang menatapku.
"Baca bukunya! Kau bisa melanjutkan nanti kan, Jen?"
"Sebentar! Ok? Bentar lagi kok," jawabnya tidak peduli padaku dan kembali menutup wajahnya dengan buku. Sontak aku bangun dari tempat dudukku dan merampas bukunya.
"Ah, Eddo!!!" serunya. "Kembalikan dong, Sayaaang!"
"Tidak, sebelum kau menghabiskan makan siangmu," kataku. "Sebentar lagi kau harus kembali ke kantor. Kita tidak punya banyak waktu bersama akhir-akhir ini. Sedangkan sekarang kau malah membaca buku novel ini saat makan siang denganku."
Ia cemberut.
"Ok! Ok! Simpan saja bukunya. Mana yang harus aku makan dulu?" katanya sedikit jengkel.
Aku hanya menggelengkan kepala, melihat tingkahnya. Ia mulai melahap ayam goreng di atas meja sambil menaikkan salah satu kakinya ke kursi dan duduk dengan gaya khas.
"Hem, bagaimana sekarang?" katanya. Mulutnya penuh dengan makanan. Matanya menatap aku sambil menantang. Aku  tau dia sengaja ingin membuatku marah, dan mengajakku bertengkar. Maka aku berpura-pura tidak peduli. Tak lama setelah itu, handphone-nya berdering.
"Halo?" Jenny mengangkat teleponnya. "Baik, Pak!" Lanjutnya. "Siap!"
Ia menutup teleponnya dan melihat ke arahku. "Cepat habiskan dan ikutlah denganku," katanya. "Kita punya waktu bersama lebih lama sekarang," tambahnya sambil makan dengan cepat.
"Ada apa?" tanyaku penasaran.
"Ada pembunuhan! Ayo cepat!" Kata Jenny mulai berdiri sesudah meneguk minumannya. Aku yang melihatnya bergegas pun, segara meminum jus jerukku dan mengikuti Jenny yang setengah berlari.
"Jen, tunggu!" Panggilku sambil membuka pintu keluar restoran. "Oh, sial! Aku lupa belum membayar bon-nya."
***
Kami tiba di sebuah apartemen di pinggiran kota. Kami masuk dan langsung menuju lift. Jenny menekan tombol lantai tiga.
Saat kami berada di lantai tiga, aku melihat orang sudah berkerumun di depan pintu sebuah kamar apartemen.
Tempat itu adalah sebuah koridor panjang berlatar gelap. Di kedua sisinya berjajar pintu-pintu kayu yang dicat warna cerah. Di atas, tergantung lampu-lampu kecil berbaris hingga ujung koridor, tidak menyala karena siang hari. Satu-satunya cahaya yang masuk ke tempat itu adalah dari jendela besar di ujung koridor. Tidak begitu terang namun cukup memberikan kesan cerah.
Aku merasakan hawanya sejuk, malah cenderung dingin, bukan karena AC melainkan karena udara yang mencekam. Aku berjalan dengan ketir. Langkahku pelan dan hati-hati meski Jenny begitu terburu-buru.
Orang-orang menatap kami berdua dengan penasaran. Jenny tidak mengenakan seragam, maka aku tidak kaget dengan sikap orang-orang itu. Jenny menunjukkan lecananya, seketika orang-orang itu tahu bahwa kami datang untuk melakukan penyidikan.
Seorang satpam menghampiri kami dan bersalaman. Ia mengenakan seragam satpam lengkap. Di dadanya tertulis namanya 'Sodik'. Perawakannya tinggi besar. Potongan rambutnya rapi. Kumis tipis dan janggutnya memberi kesan keperkasaannya. Meski demikian, ia terlihat ramah.
"Apa yang terjadi?" tanya Jenny.
Satpam itu menunjuk ke bawah sebuah pintu. Dari bawah pintu itu, cairan berwarna merah gelap mengalir keluar. Aku tahu itu darah.
Jenny meminta orang-orang untuk menjauh. Jenny memegang gagang pintu. "Apa pintunya terbuka?"
"Kami terpaksa mendobraknya," jawab satpam tempat itu.
Jenny mulai membuka pintu secara perlahan. Namu ketika pintu tersebut terbuka tidak sampai separuhnya, pintu itu seperti terganjal sesuatu. Jenny melongo ke dalam dan terdiam sebentar. Ia menoleh ke arahku dan orang-orang berdiri. "Tetaplah menjauh," katanya. Ia mulai melangkah masuk dengan susah payah.
Aku mendekat ke pintu agar tidak ada orang yang merusak TKP. "Apa tadi anda mengecek ke dalam?" tanyaku pada satpam itu.
"Iya, saya mengintip seperti itu juga. Lalu saya menghubungi polisi dan ambulan," jawab satpam itu.
"Siapa yang menemukannya?"
"Dia," katanya sambil menunjuk salah seorang yang berdiri di antara kerumunan orang. Orang yang ditunjuk itu mendekat. Tubuhnya kurus dan kecil. Sikapnya agak canggung dan gugup. Wajahnya pucat dan keringat mulai menetes di keningnya yang tipis. Matanya agak menonjol dan dibingkai sebuah kacamata bulat. Mata itu memancarkan ketakutan. Aku mengira ia orang yang mudah gugup. Ia menyalami tanganku dengan jari-jarinya yang panjang dan dingin.
"Pak," katanya menyapa.
"Siapa nama anda?" tanyaku.
"Nama saya Sahwini, Pak."
Orang bernama Sahwini ini agak gemetar saat bicara.
"Apa benar anda yang pertama kali melihat ini?"
"Iya, Pak."
"Bersama siapa anda saat itu?"
"Saya kebetulan sendirian, Pak. Kemudian saya memanggil satpam. Lalu beberapa orang mulai berdatangan. Saat itulah anda datang.
Saat aku sedang berbicara dengan Pak Sahwini, dua tim medis datang membawa tandu. Mereka menyampaikan beberapa hal maksud mereka. Belum sempat aku bicara Jenny sudah selesai memeriksa. Ia keluar dengan membawa bungkusan plastik berisi benda-benda kecil. Aku yakin itu adalah barang bukti atau barang penting untuk penyelidikan.
"Anda boleh membawa mayatnya sekarang," katanya kepada salah satu petugas medis tadi.
Mereka masuk dengan hati-hati.
***
Aku lihat mayat korban di tandu keluar. Saat melewatiku, aku memberanikan diri membuka kain penutupnya. Sangat mengerikan! Korbannya adalah seorang pria. Usianya sekitar 30 tahun. Wajahnya tampan dan berkulit putih namun dalam keadaan seperti itu dia tampak mengenaskan. Di kepalanya tepat dipelipis bagian depan terdapat lubang bekas tembakan. Darah segar hampir kering merembes keluar menutupi sebagian wajahnya. Sesaat aku menatap wajah itu, seperti merasakan rasa penasaran jiwanya. Seketika itu aku langsung memalingkan wajahku dan menutupnya kembali.
Aku melirik Jenny.
Ia berdiri sambil berpikir. "Benar-benar aneh dan rumit," katanya.
"Siapa nama korban?" tanyaku.
"Pasport-nya jelas ada, ini. Namanya Simon Toya, Warga negara Autralia. Aku yakin dia campuran Indonesia. Pekerjaan Wiraswasta. Itu yang tertulis di pasport-nya. Namun, aku yakin dia adalah seorang ahli komputer. Kau lihat itu?" Jenny membuka pintu kamar apartemen korban. Di sudut ruangan, aku melihat banyak sekali perangkat komputer.
"Aku khawatir ini akan melibatkan mafia kota ini," katanya lagi.
"Bagaimana kau berkesimpulan seperti itu?"
"Entahlah. Setiap kasus pembunuhan warga asing biasanya melibatkan orang-orang elit. Pembunuhan ini bukan suatu kebetulan tapi sesuatu yang sudah direncanakan. Saat satpam dan orang-orang itu tiba disini, pintunya sedang terkunci dari dalam. Aku bisa memastikan hal tersebut. Lihat ini," kata Jenny menunjuk knop pintu. Knop itu rusak yang menandakan pintu dibuka secara paksa.
"Kenap satpam atau pemilik apartemen tidak menggunakan kunci cadangan saja untuk membukanya?"
"Mungkin mereka tidak memiliki kunci cadangan. Kalaupun mereka punya itu akan percuma. Lihat ini," kata Jenny menunjuk lubang kunci sebelah dalam. "Kuncinya masih terpasang disana."
Aku mengangguk.
"Jadi kalaupun menggunakan kunci lain tetap tidak akan bisa dibuka karena dari sisi lain kuncinya masih terpasang, ya?" kataku.
"Semua jendela terkuci dari dalam. Slotnya terpasang sempurna. Darimana pembunuhnya masuk? Padahal jelas-jelas korban tertembak di bagian kepalanya," ujar Jenny berpikir. Ia melangkah ke dalam sambil memeriksa ulang tempat itu. Aku mengikutinya di belakang. Orang-orang masih berkerumun di koridor.
Apartemen itu cukup luas. Ada kamar tidur, dapur, kamar mandi dan ruang tamu. Seperti yang aku jelaskan tadi, di sudut ruang tamu terdapat meja komputer. Beberapa alat dan perangkat komputer seperti headset, scanner dan lain-lain, berserakan di lantai dan meja. Sebuah TV sedang menyala namun volumenya pelan, duduk di atas meja buffet di sisi yang lain. Di atasnya tergantung lukisan pemandangan danau dan gunung. Aku sama sekali tidak melihat hal yang aneh. Namun suasana ruangan itu begitu mencekam. Aku mendangak ke atas sudut ruangan. AC-nya menyala denga kencang.
"Aku sering membaca novel detektif," kataku, "milikmu tentunnya, tapi terus terang kasus ini benar-benar rumit. Bagaimana menurutmu, Jen?"
"Ssst !" Jenny mengisyaratkan dengan jarinya. Ia naik ke sebuah kursi dan mencoba mencari jalan masuk lewat atap. Tapi percuma. Tidak ada jalan lewat atap.
"Semua tertutup rapat. Tidak mungkin lewat atap," katanya kecewa. "Jika kau peka," katanya lagi, "kau akan mendapat beberapa detil yang aneh dalam ruangan ini. Di mulai dari pintu itu." Jenny menunjuk pintu masuk. Maka aku pun menoleh ke arah yang ditunjuk Jenny.
"Bisa kau jelaskan maksudmu?"
"Ya, seperti knop pintu yang rusak, lubang untuk mengintip di pintu itu..." katanya.
Aku memang melihat tiap pintu apartemen itu semua memiliki lubang kecil untuk mengintip keluar agar orang di dalam tahu siapa yang berada di depan pintu.
"...kamar yang terkuci dari dalam, dan ini," kata Jenny mengeluarkan bungkusan plastik transparan berisi sebuah amplop kecil berwana putih. Amplop itu sebagian permukaannya terkena noda darah.
"Apa itu?" tanyaku spontan walaupun aku tahu itu sebuah amplop.
"Amplop ini," kata Jenny, "sama halnya dengan ruangan ini, sama anehnya. Amplop ini kosong, tapi lemnya terpasang, dan sudah terbuka. Aku sudah mencari isinya di ruangan ini, tapi tidak menemukannya. Tidak ada isi, tidak ada tulisan apapun, baik pengirim atau penerimanya. Ini seperti kerjaan orang iseng tapi toh nyatanya ada nyawa seseorang yang melayang. Jadi amplop ini sungguh penting. Seandainya aku cukup cerdas aku harusnya tahu apa maksud amplop ini. Amplop ini tergeletak di lantai dekat mayat korban tepat di belakang pintu."
"Mungikin itu hanya kebetulan," kataku.
"Tidak mungkin. Amplop ini lebih penting dari benda-benda lain di ruangan ini. Tapi untuk apa? Aku belum bisa menjawabnya."
"Apa lagi yang kau temukan?"
Jenny mengeluarkan benda-benda dari sakunya lalu diletakkan di atas meja. Ada kacamata dan sebuah handphone. "Kedua benda ini tidak banyak memberikan petunjuk. Hanya beberapa detil seperti korban adalah seorang perokok, mata kanan minus 1,5 dan kiri 2, agak sembronoh, malas, tidak memiliki pacar, hobinya pasti komputer dan dia anti sosial. Siapapun bisa menjadi pembunuhnya. Di handphone-nya, tidak ada kontak sama sekali, hanya nomor operator, log panggilan dan sms sudah dibersihkan, entah oleh pelaku atau korban sendiri."
Jenny terdiam sebentar.
"Aku akan memeriksa komputernya," kata Jenny. Ia menyalakan komputer milik korban. Namun komputer tersebut diproteksi oleh password. "Aku membutuhkan bantuan Elo," katanya.
"Siapa dia?"
"Seorang ahli IT kepolisian," jawab Jenny sambil menghubungi seseorang.
***
"Bagaimana?" kata Jenny saat Elo memeriksa komputer Simon Toya.
"Beri aku waktu sebentar," kata Elo.
Aku dan Jenny berdiri di samping Elo.
Elo adalah pemuda kurus berkacamata. Bola matanya bergerak-gerak di depan komputer. Sesekali ia mendorong kacamatanya sedikit ke atas dengan jarinya yang panjang dan kurus.
"Tunggu, tunggu, tunggu," katanya. "Yes, dapat! Lihat? Disini tidak ada hal yang sulit. Aku mendapat berkas transaksi barang-barang ilegal. Di komputer ini hanya data ini yang menurutku paling penting. Hanya ini."
"Bisa kau cek siapa yang melakukan transaksi tersebut?"
"Tentu, namanya adalah Nikolay Arbess. Apa kau kenal?" Elo melirik Jenny.
"Tidak. Bisakah kau cari tahu?"
"Sebentar."
Komputer itu mulai menampilkan profil orang-orang dalam sebuah sistem. Gambar itu bergeser bergantian hingga berhenti pada sebuah gambar separuh badan seseorang berdasi dan tampan. Usianya mungkin 40 tahunan. Bersamaan dengan itu terdengar bunyi seperti alarm dari komputer itu lalu berhenti.
"Dia seorang warga Australia, pemimpin Leto's.corp. yang bergerak di bidang kimia dan obat-obatan," kata Elo.
"Lalu apa hubungannya dengan korban?"
"Jika di lihat dari data ini, serta akses komputer ini, aku yakin korban bekerja untuk Nikolay Arbess."
"Barang macam apa yang mereka jual?"
"Lihatlah, ini hampir semua jenis NAPZA. Aku bisa menampilkan detilnya."
Jenny dan aku terdiam sebentar memperhatikan dekstop tersebut.
"Lalu kepada siapa barang-barang itu dijual?"
"Transaksi terakhir disini tidak tercantum namanya. Tapi aku rasa aku bisa mencari tahu, beri aku waktu satu hari.
"Lalu bagaimana cara menemui Nikolay?"
"Aku tidak tahu. Hal itu sepertinya sulit dilakukan aku yakin dia tidak ada di Indonesia. Ini merupakan kasus internasional dan bukan hanya kasus pembunuhan tapi juga penyelundupan barang ilegal. Lihat hampir semua transaksi di lakukan di tiga tempat, Denpasar, Bali;  Jakarta dan Surabaya. Kita akan kesulitan menangkap pembunuhnya."
"Ya, kau benar. Tenang saja kita ikuti saja petunjuk yang ada. Hasil optopsi akan memberikan kita informasi yang dibutuhkan." Jenny menepuk bahu Elo dengan pelan.
***
Hari itu berakhir dengan sangat mengecewakan. Aku kembali ke apartemenku pada jam 20.00. Aku berusaha untuk tidur jam 22.00 tapi tidak bisa. Keesokan harinya Jenny tidak menguhubungiku padahal aku sangat ingin ikut serta dalam penyelidikannya. Maka hari itu aku habiskan untuk melakukan pekerjaanku sendiri. Baru pada hari ketiga, tepatnya sore hari saat matahari hampir terbenam, Jenny datang ke apartemenku. Aku sedikit terkejut ketika membuka pintu apartemenku dan melihat Jenny berdiri disana.
"Apa kau sibuk?"
"Tidak sama sekali," kataku."
"Kalau begitu ikutlah denganku. Aku yakin semua berita di TV dan koran akan memuat kasus yang aku tangani. Baru kemarin saja, pemberitaan sudah banyak yang mengabarkan tentang pembunuhan warga asing bernama Simon Toya itu."
"Lalu apa kau sudah menemukan pelakunya?"
"Iya. Kepolisian pusat termasuk BIN sekarang sudah bergerak untuk menindak lanjuti laporanku," ujar Jenny sambil melihat jam tangannya.
"Lalu kau mau mengajakku kemana?" tanyaku saat di dalam mobil.
"Kau jalan saja," kata Jenny sambil memutar musik mobilnya.
Beberapa menit kemudian Jenny menyuruhku menepi. "Apa kau mau kebab?" Katanya. Aku mengangguk saja meski sebenarnya tidak sabar ingin tahu kami mau kemana.
Sambil memakan kebab-nya di dalam mobil, Jenny bercerita.
"Kasus yang aku tangani ini salah satu kasus yang membutuhkan kejelian dan analisis yang tajam. Kau masih ingat tentang amplop yang sebagian ujungnya terkena noda darah itu? Amplop itu, aku temukan tepat di samping korban, tepatnya di lantai di belakang pintu masuk. Jika kau perhatikan, ada jarak antara bagian bawah pintu tersebut dengan lantai."
"Lalu apa hubungannya dengan amplop tadi?"
"Pertanyaan sederhananya adalah bagaimana pelaku melakukan pembunuhan itu? Bagaimana cara si pembunuh masuk?"
"Bagaimana? Itu sungguh cara yang rumit pastinya," kataku.
"Justru sebaliknya," kata Jenny. "Caranya malah sangat sederhana. Otakku saja yang lambat dalam berpikir. Model pintu, lubang di pintu, bagian bawah pintu dan amplop itu memberiku satu kesimpulan sederhana. Aku malah dialihkan untuk memeriksa pintu, jendela dan atap yang sebenarnya tidak perlu. Pembunuhnya pintar karena memberi kesan ia telah masuk ke apartemen itu lalu membunuh korban, mengunci pintu lalu keluar entah dari mana. Padahal dia sama sekali tidak masuk ke apartemen korban. Yang ia lakukan hanya mengetuk pintu. Korban yang sedang menonton TV, mengecilkan volumenya lalu menuju pintu. Sesudah korban mengintip dari lubang pintu, pelaku menunjukkan amplop kosong yang kemudian ia masukkan lewat bawah pintu. Aku yakin pelakunya adalah orang yang dikenal korban karena tampaknya ia tak curiga sedikitpun. Selanjutnya korban mengambil amplop itu, membukanya dan ia jatuh pingsan karena dalam amplop itu terdapat serbuk racun. Tim forensik memeriksa baju korban yang penuh dengan serbuk itu. Pembunuhnya menembak korban melalui celah di bawah pintu dan DOOR!" Jenny mencontohkan dengan jari telunjuknya yang lentik ke arahku. Tentu saja aku sedikit terkejut. "Tepat di kepalanya," lanjutnya. "Aku sudah merasa aneh dengan posisi peluru yang agak ke samping tidak pas di dahi tapi juga tidak tepat di pelipis melainkan di antara dahi depan dan pelipis sebelah kanan. Tapi aku tak begitu tanggap melihat hal aneh ini, padahal hal sepele apapun tidak boleh aku lewatkan. Dari hasil otopsi juga diketahui bahwa pelakunya bertangan kidal. Peluru yang digunakan berasal dari sebuah pistol tipe FN57. Selanjutnya aku dibantu rekanku Firman Herlambang mencari data orang-orang yang memiliki hubungan dengan Simon Toya, terutama yang bertransaksi dengan Nikolay Arbess. Elo sangat cepat kerjanya hanya butuh semenit saja ia sudah memberi kami daftar orang-orang itu."
"Seharian itu penyelidikanku seperti sia-sia. Namun ada satu orang yang menurtku paling berkesemapatan untuk melakukan pembunuhan itu. Kau mungkin masih ingat orang yang terakhir kali melakukan transaksi dengan Nikolay? Elo berhasil mendapatkan profilnya. Namanya adalah Tomi Wibowo. Dia adalah pimpinan salah satu perusahaan Expor impor terbesar di Indonesia. Dia sebenarnya sudah masuk daftar hitam kepolisian Indonesia, namun mereka belum memiliki bukti apa pun untuk menangkapnya, hingga mereka menerima laporanku."
"Jadi dia yang membunuh Simon?"
"Bukan, tapi anak buahnya. Namanya Jo. Dia dikenal dengan nama Barong. Namanya selalu berubah-ubah. Elo memperlihatkan rekaman CCTV yang terpasang di parkiran apartemen Simon Toya. Pada jam pembunuhan Simon, orang ini terlihat mengunjungi apartemen tersebut dan hanya 10 menit kemudian dia meninggalkan tempat itu. Mereka sudah sama-sama kenal jadi itu mudah saja bagi si Barong menghabisinya."
"Apa motifnya?"
"Simon Toya ini, secara sengaja masuk ke jaringan data milik Tomi Wibowo pasca transaksi terakhir dan mencuri beberapa informasi perusahaan tersebut. Ada sejumlah transaksi yang tak wajar berhasil ditemukan oleh Elo. Aku yakin itu penyebabnya."
"Apa mereka sudah ditangkap?"
"Kau akan segera melihatnya," kata Jenny.
Mobil kami berhenti di sebuah jalanan kosong. Jauh ke utara, ada sebuah gudang tua. Sebuah lampu kecil tergantung di bawah atap.
Jenny meneropong ke arah gudang tua itu, lalu memberikannya padaku. Di tengah gelapnya tanaman jagung, aku melihat beberapa polisi tak berseragam mengendap-ngendap di kejauhan. Mereka mengepung dari semua arah. Aku menyaksikan penyergapan itu dengan tegang. Salah seorang dari mereka memberi kode. Tiba-tiba terdengar suara tembakan, lalu disusul tembakan yang lain. Adegan itu persis seperti dalam film. Sekitar satu jam baku tembak itu berlangsung sebelum akhirnya polisi berhasil meringkus kelompok tersebut. Semua anggota penjahat itu tertangkap termasuk Barong. Namun Tomi Wibowo tidak ada di tempat itu.
Kami mendekati polisi-polisi itu beberapa menit kemudian. Jenny disambut dengan gembira oleh pimpinan operasi tersebut. Namun Jenny melarang menyebutkan namanya dalam tulisanku. Dia berperawakan gagah dan berani, langkahnya kaku dan hati-hati. Dia menyalami kami dengan hangat serta mengucapkan terimakasih kepada Jenny.
Aku sempat melihat sosok Baron denga brewoknya yang lebat. Matanya tajam dan penuh amarah. Kakinya terluka karena tertembak. Ia dan rekannya sejumlah lima orang dibawa masuk ke dalam mobil.
Aku merangkul bahu Jenny dan memperhatikan rombongan mobil itu pergi. "Sekarang kita pulang," katanya.
"Ya," jawabku dengan lega.

No comments:

Post a Comment